Menulis adalah lentera di tengah badai kehidupan
Posted by Unknown 18.17.00 in


         Angin di sepertiga musim gugur terasa dingin menampar lembut kedua pipiku. Dengan tergesa kupercepat langkah menuju kantor sebuah agen perjalanan, tempatku memesan tiket penerbangan dua hari sebelumnya. Aku tak peduli dengan rintik hujan yang semakin deras. Di benakku hanya ada satu tujuan, mendapatkan tiket penerbangan secepatnya.

Kulirik jarum jam di pergelangan tangan kiriku. Pukul empat lebih sedikit. Pasti belum tutup, gumamku menenangkan diri. Sepuluh menit berselang, sampai juga di tempat yang kutuju. Seorang perempuan muda bermata sipit menyambut kedatanganku dan menyerahkan sebuah amplop berwarna putih.
“Maaf, kami sudah merepotkan Anda,” ucapnya seraya tersenyum.
“Tidak sama sekali,” jawabku datar. Kuterima amplop itu dan bergegas keluar. Aku berjalan menerobos hujan yang masih setia bercumbu dengan bumi, kekasih abadinya.

Harum kopi semerbak menyambut saat kubuka pintu apartemen. Terdengar sebuah suara yang sangat kukenal sedang bersenandung. Anya, karibku itu keluar dari dapur. Di tangan kanannya, tampak cangkir yang mengepulkan asap dengan aroma khasnya. Ia berikan cangkir itu padaku. Aku menerima lalu meneguknya perlahan. Rongga dadaku yang terasa sesak dan beku, mulai menghangat.
“Gimana Sin, dapat tiketnya?” Ia bertanya.
Kuambil amplop putih dari dalam tas lalu kuberikan padanya.
“Malam ini, pukul sepuluh aku harus sampai di Airport. Aku tak ingin terlambat, karena penerbanganku pukul setengah dua belas.”

Kuletakkan cangkir yang masih terasa panas di meja. Lalu beranjak menuju kamar. Anya tidak banyak bicara. Ia mengikuti langkahku dan membantu untuk berkemas. Aku berangkat ke bandara dengan menumpang sebuah taksi. Setiba di bandara, segera kuselesaikan segala keperluan yang berkaitan dengan jadwal penerbanganku. Pukul setengah dua belas waktu setempat, pesawat yang kutumpangi mengudara.
   ***

Adili Soeharto dan kroni-kroninya! Hapuskan Dwi Fungsi ABRI! Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN! Suara demonstran bersahutan membelah langit kota Jakarta. Massa dan mahasiswa yang berjumlah ribuan tumpah ruah di jalan-jalan utama, tepatnya di dekat bundaran Hotel Indonesia dan bergerak menuju ke gedung Parlemen, Gedung Nusantara.

Aku yang bekerja paruh waktu sebagai kontributor di sebuah surat kabar nasional, ikut turun ke jalan untuk meliput aksi unjuk rasa. Suasana yang semula masih terkendali, tiba-tiba berubah menjadi kisruh. Menghadapi ulah para demonstran, aparat keamanan mulai melakukan aksi untuk menghalau barisan pengunjuk rasa. Baton-baton pun ikut terayun. Dalam sekejab situasi berubah menjadi tak terkendali.

Suasana semakin memanas. Karena bukan hanya baton yang digunakan oleh pasukan anti huru-hara untuk menghalau demonstran, tetapi mulai terdengar rentetan tembakan entah darimana asalnya. Dalam kondisi kacau itu, kacamataku terjatuh. Tanpanya, hilanglah duniaku. Aku tak mampu melihat dengan jelas. Lalu kurasakan tarikan dan dorongan amat keras menghantam punggungku. Setelahnya, gelap.

Yang kutahu, saat sadar aku telah berada di bangsal rumah sakit. Kepala dan kakiku diperban. Punggung dan tanganku terasa ngilu. Kucoba mengingat apa yang terjadi, namun, hanya sepotong demi sepotong kejadian yang mampu kuingat. Disaat aku sibuk dengan rasa sakit, sosok lelaki bercambang itu menghampiriku. Matanya tajam seolah ingin mengulitiku. Tak ada kata yang terucap dari bibir legamnya. Hanya dengusan, seolah aku adalah sebuah beban yang selalu menyusahkannya.

Ia memberikan telpon genggam padaku. “Telpon ibumu! Agar ia tahu kau masih hidup,” katanya dengan nada kesal. Aku tak menghiraukannya. Rasa nyeri bertubi-tubi menyerang hampir seluruh persendianku. Ia tahu aku kesakitan. Lalu memanggil perawat. Aku melihatnya sekilas, sebelum obat penenang mengambil kesadaranku.


Hampir dua minggu aku terkapar di ruangan putih ini. Lelaki itu tak pernah lagi menjengukku. Hanya kedua adik dan ibuku serta beberapa kawan dekat yang datang. Dari mereka aku tahu apa yang menimpaku. Saat aksi unjuk rasa punggungku terkena ayunan baton seorang aparat keamanan. Lalu aku terjatuh dan terseret arus massa. Beruntung ada seorang mahasiswa yang menolongku. Kalau tidak, mungkin aku hanya tinggal nama.

Setelah keadaanku membaik, dokter mengizinkanku untuk pulang. Kali ini hanya ibu yang datang. Kemana lelaki bercambang itu? Ah, ia pasti sedang bermasyuk ria dengan wanita mudanya. Atau sibuk dengan pekerjaan dan jamuan makan dengan para koleganya. Uang, jabatan, reputasi di hadapan teman dan rekan bisnis adalah Tuhan baginya. Keluarga tak pernah ada dalam bingkai hatinya.

Ibu menuntunku menuju taksi yang terparkir di halaman rumah sakit. Tak banyak yang ia ucapkan. Hanya senyumnya menyiratkan rasa lega, karena aku, si sulung, anak perempuan satu-satunya, masih bernafas.

Setiba di rumah, ibu meminta bi Inah, perempuan berumur yang telah mengabdi di keluarga kami semenjak ibu menikah, untuk menyiapkan makan siang. Aku beranjak menuju ke kamar saat tanpa sengaja kutatap rangkaian foto yang terpajang di setiap bingkai kayu, di dinding ruang keluarga. Ada tawa, kegembiraan dan kehangatan di sana. Aku rindu semua itu.

Aku merindukan belaian lelaki bercambang itu. Seperti dulu, ketika aku masih kecil dan selalu tertidur di pangkuannya. Kristal bening merebak di kedua pelupuk mataku. Sosok lelaki itu tak lagi sehangat dan selembut dulu. Hari-harinya dihabiskan bersama istri mudanya. Wanita itulah sumber kehancuran keluarga kami. Ia pulang ke rumah layaknya seorang pejabat melakukan kunjungan dinas saja. Sekali dalam sebulan. Itupun hanya beberapa jam.

Ia memang ayahku. Tapi apa yang telah ia lakukan dengan menyakiti perasaan ibu, membagi hati dan kehidupannya dengan perempuan lain, membuatku muak melihat tampangnya. Jika aku sangat membenci kelakuan lelaki itu, sikap ibu berbalik tiga ratus enam puluh derajat denganku. Ibu begitu sabar dan selalu melayani ayah. Seolah ia sosok malaikat tanpa dosa. Pernah kutanyakan hal itu kepadanya, ibu hanya tersenyum sekilas dengan tatapan bening kedua matanya. Aku tahu ia menyimpan luka itu. Sendiri berusaha menerima asa dan takdir hidupnya.

Kuhela nafas perlahan lalu berjalan pelan memasuki kamarku. Kucoba memejamkan mata, saat terdengar derum mobil berhenti di halaman depan. Langkah berat sepatu kulitnya nyaring beradu dengan lantai berubin putih rumah kami. Lelaki itu datang untuk meminta ibu menandatangani surat perceraian mereka. Ibu menolak. Ibu tak ingin hak kami, ketiga anaknya terampas.


“Aku rela dimadu! Tapi aku tak sudi untuk bercerai. Aku tak akan membiarkan wanita itu memiliki rumah ini. Ini milik anak-anak. Tak akan kubiarkan seorangpun menjamahnya,” tolak ibu tegas. “Bukankah sudah kubilang, kau bisa membeli rumah lain dengan pembagian harta gono-gini kita. Cukup kau tanda tangani surat ini dan kau bisa bebas menikah dengan lelaki lain,” kata lelaki itu tanpa perasaan. Namun, ibu bergeming. Dan kali ini, lelaki itu benar-benar ingin mendapatkan tanda tangan ibu. “Jangan memaksaku untuk bertindak kasar. Kau tanda tangani surat ini sekarang juga, atau…,” hardiknya.

“Atau apa? Apa yang akan kau lakukan? Menamparku? Memukulku? Ayo lakukan! Sampai berkalang tanah pun aku tak akan menandatanganinya,” tantang ibu dengan lantang. Lalu terdengar suara plak, disertai rintihan tertahan ibu. Dengan tertatih aku keluar kamar menuju ruang tamu. Nampak ibu terduduk di lantai dengan memegangi pipinya. Sudut bibirnya berdarah. Kutatap nyalang lelaki bercambang itu. Ia dengan pongah berdiri berkacak pinggang seraya melambaikan selembar kertas putih terlaknat itu di depan muka kami.


Aku tak mampu lagi menahan amarah. Kurebut kertas itu dan merobeknya. Ia meradang. Matanya merah. Nanar menatapku. Tanpa kuduga ia menyambar lenganku dan menjambak rambutku. Ia menamparku berkali-kali. Aku terhuyung kemudian jatuh terjerembab di sisi ibu. Darah segar menetes dari hidung dan mulutku. Seperti orang kesetanan, lelaki itu melempar vas bunga ke arahku disertai sumpah serapahnya. Untung aku beringsut. Jika tidak, pasti kepalaku sudah bocor.

 Lalu dengan kasar ia menyeretku keluar dari rumah. “Dasar anak pungut, tak tahu diri. Ini balasanmu pada orang yang telah membesarkanmu. Memungutmu dari jalanan, heh! Kata-katanya meluncur bagai belati membelah kesadaranku. Diantara nyeri dan rasa sakit yang mendera, aku menatap kearah ibu yang tertatih berusaha menghentikan tarikan kasar suaminya kepadaku.
 “Hentikan mas, jangan kau sakiti Sinta, aku mohon! Akan kulakukan apapun kemauanmu. Lepaskan Sinta!” mohon ibu padanya. “Keluar kau dari rumah ini. Dasar anak tak tahu balas budi! Keluar!” Makinya semakin tak terbendung. Lalu sebuah tendangan ia daratkan di perutku. Rasa sakit tak tertahan terasa menyerang ulu hati. Pandanganku mengabur.


“Sinta, kamu sudah sadar nak?” suara ibu terdengar lemah di telingaku. Saat kubuka mata, wajah pucat wanita penyabar itu terlihat sedikit lega. Kedua adikku dan bi Inah berdiri di sampingnya. Mataku menatap sekeliling, mencari sosok lelaki itu. Ia tak ada.
“Ayah sudah pergi mbak. Untung kami datang tepat waktu,” kata Dani, si bungsu.
“Jangan khawatir. Kami tidak akan membiarkannya menyentuh mbak dan ibu meski hanya seujung kuku,” Danu, adikku yang satunya menimpali. Aku mengangguk dan tersenyum. Pandanganku kini beralih ke arah ibu. Aku butuh jawaban. Benarkah aku anak pungut? Apakah aku nyata bukan darah daging mereka?

 Ibu paham akan maksud tatapanku. Bulir airmata mengalir dari kedua telaga beningnya. Dengan terbata mulai menceritakan tentang hal yang selama ini, ia dan lelaki itu sembunyikan. Mereka menemukanku di taman kota. Di sebuah kardus berbungkus handuk lusuh. Ibu yang saat itu begitu menginginkan momongan, tetapi belum juga mendapatkan, meminta pada ayah agar mengizinkannya merawat bayi malang itu. Aku, yang kini dianggap sebagai putri sulung mereka adalah bayi di dalam kardus tersebut. Aku terdiam. Tanggul airmataku runtuh. Luruh bersama isakan ibu.
“Kamu anak ibu Sin. Selamanya kamu adalah putri sulung keluarga ini,” ucapnya terisak. Aku tak mampu bersuara. Ia memelukku begitu erat. Danu, Dani dan bi Inah ikut berkaca-kaca.

Setelah kejadian itu, ia tak pernah datang ke rumah. Lelaki itu tak lagi memberi nafkah batin dan lahir kepada ibu. Demi memenuhi kebutuhan keluarga, ibu menerima order katering dan membuka warung kecil-kecilan. Aku pun tak mau berpangku tangan. Dengan kerja paruh waktu selepas kuliah dan membantu mengedit naskah majalah di kampus, aku mampu membiayai kuliah hingga lulus.

Kemudian bekerja di sebuah media berbahasa Indonesia yang terbit di Hong Kong. Setahun, dua tahun, kulewati waktuku dengan menjadi kuli tinta di negeri seberang. Dengan gaji lebih dari cukup, aku bisa membantu membiayai kuliah Dani dan Danu.

Setiap lebaran tiba, aku selalu menyempatkan diri untuk mudik, bersua dengan ibu dan kedua adikku. Namun, kini hampir tiga kali hari raya aku tidak cuti. Dengan berbagai alasan, aku sengaja tidak pulang. Karena tiga tahun yang lalu, lelaki bercambang itu kembali ke rumah kami. Ia terkena stroke dan istri mudanya tak sudi untuk merawatnya. Semua uang dan harta miliknya, telah menjadi hak milik perempuan itu. Hanya rumah yang ditempati ibu dan kedua adikku yang selamat dari jarahan keserakahannya.

Aku belum bisa memaafkan lelaki itu. Tetapi ibu, ia dengan tangan terbuka menerima kehadirannya. Itulah yang membuatku tidak mudik sama sekali. Hingga seminggu yang lalu, sebuah pesan dari Danu, membuatku mampu melawan rasa sakit hati. Dan, kuputuskan untuk pulang.
***

Pesawat yang kutumpangi mendarat di bandara Juanda keesokan paginya. Aku menyewa taksi menuju kota kelahiranku, Malang. Dibutuhkan waktu kurang dari dua jam, sebelum akhirnya aku sampai di pelataran rumah ibu. Rumah itu masih tampak sama. Semerbak bunga melati dan mawar seolah berebut menyambut kedatanganku. Kupercepat langkah menuju pintu utama rumah. Belum sempat aku mengetuk pintu, seraut wajah dengan senyum yang selama ini aku rindukan, membukanya.

Ibu, dengan gamis ungu muda dan jilbab warna senada, terpaku melihatku. “Sinta? Masya Allah nak, kok tidak memberi kabar sama sekali?” ujarnya. Segera kugapai tangannya, kucium lalu memeluknya. “Maafkan Sinta bu, karena tidak berkirim kabar pulang hari ini,” kataku. Ibu tersenyum. Kemudian ia menggamit lenganku. “Kedua adikmu ada kegiatan di kampus. Nanti sore mereka baru pulang,” ibu berkata sembari membantuku membawa tas dan menaruhnya di kamarku.

 “Ia dimana bu?” Tanyaku. Ibu tahu siapa yang kumaksud. Lalu melangkah menuju kamar yang berdekatan dengan ruang keluarga. “Masuklah. Ayahmu ada di dalam.”

Dengan hati bimbang, kubuka pintu kamar bercat coklat tanah. Di sana, di tengah ruangan bercahaya redup, kulihat sosoknya terbaring di atas ranjang. Ia menoleh dan seulas senyum tersungging di bibir pucatnya. “Sinta, kamu pulang nak?” ucapnya terbata.

Aku beranjak mendekat ke arahnya. Cambang itu tak selegam dan selebat dulu. Tubuhnya ringkih. Hanya tulang berbalut kulit. Rambutnya berseling antara warna hitam dan putih. Senyum yang tersembunyi dibalik cambangnya, kini kulihat kembali. Aku menghambur ke arahnya. Kurengkuh tangan ringkihnya. Pandanganku kabur terhalang airmata.

Bibir lelaki itu bergerak perlahan. “Maafkan ayah, nak. Maafkan semua perlakuan ayah padamu,” ucapnya lirih diiringi airmata yang kini deras mengalir membasahi keriput pipi dan cambang kusutnya.

Kuusap lembut tangannya. Tangan yang dulu pernah menamparku. Juga yang mengusap halus kepalaku, saat aku lena dalam dekapannya. Kuletakkan tangannya di pipiku. Terasa hangat. Aku tak mampu berkata. Hanya sebuah anggukan kepala dan isakan tertahan yang mampu kuberikan. Lalu, tatapan matanya meredup. Nafasnya pelan dan teratur.


Kiranya, hanya tiga hari Tuhan memberiku kesempatan untuk merawatnya. Kamis, 5 Juli 2005, bertepatan dengan tahun ke-27 pernikahannya dengan ibu, lelaki bercambang itu menghembuskan nafas terakhirnya. Ia pergi dengan menggenggam erat tanganku.

Di sampingku, ibu menangis dalam diam. Terisak dalam senyap. Tangannya gemetar menyentuh wajah lelaki yang dicintainya. Lelaki yang memberinya begitu banyak luka. Lelaki yang telah membuatnya mengerti makna hakiki dari mencintai. Samar nampak senyum tipis di wajah teduh ibu, bersama lantunan doa yang lamat terdengar dari bibirnya.

Susana Nisa
Cerpen ini termuat di Tabloid Apakabar Plus
Edisi 9 September 2017

0 comments:

Posting Komentar

Popular Posts

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

Translate

Cari Blog ini

Search