Akhir musim semi tahun lalu, saya dan beberapa kawan berkesempatan untuk mengikuti sebuah workshop gratis di daerah Quarry Bay. Dalam ‘woro-woro’ yang disampaikan oleh tim pengkoordinasi di grup wosep, semua peserta tanpa terkecuali diharapkan datang sebelum pukul sebelas pagi. Sebuah ultimatum halus dan tersamar bagi saya yang memang terkenal dengan jam karet alias selalu telat bin molor. Entahlah, kenapa saya tidak bisa belajar dari kedisiplinan warga Hong Kong, yang selalu tepat waktu. Meski sudah satu abad lamanya saya bermukim di negeri ini (buwahaha, seabad jarene, lebay puuooll iki susan pancene), ciri khas sebagai ‘wong indo’ berjam karet, masih lekat menempel. Hal itu sering membuat saya di pleroki bala kurawa juga sobit sobat tercinta. Pasalnya, setiap janjian dengan mereka, saya selalu always tidak pernah never tepat waktu. Bahkan molor-nya bisa satu jam lebih hihihi.
Sekedar inpoh pembaca, saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan kebiasaan telat tersebut. Tetapi, masih juga saya sering terlambat. Semisal, jika saya ada janji ketemu dg si anu, di situ, sekira pukul itu, maka hari minggu pagi saya bangun awal lalu ngrumati si mbah de el el. Saat si anu wosep, “San, dimana?” Saya membalas dengan mengirim emoticon orang mandi. Padahal masih menjalankan tugas negara, memberi sarapan si nenek. Jika ia kirim wosep lagi, maka saya bilang, “nih, lagi OTW.” Sebenarnya barusan selesai mandi dan berbagai alasan lainnya, hahaha, cari alasan aja ini ceritanya. Saya kira bukan hanya aike yang sering kasih alasan begitu saat ada janji. Yah, kalo mau diadakan survei secara massal, yakin deh, dua pertiga dari penghuni jagat raya, sering menggunakan strategi tersebut. Masih di rumah, bilangnya ‘on the way nih, sepuluh menit lagi nyampai.’ Tapi sepuluh menitnya berubah jadi sejam hahaha.
Back to my story, kawans. Minggu pagi itu, saya sudah janjian dengan mbak Shepiah, salah satu sobit saya. Sejak pagi ia sudah wosep. Ndridil sisan (kirim pesan berulang kali). “San, jangan telat! San awas kalo kamu molor kali ini! Dan pesan senada sampai bosen saya membacanya. Namun, seperti biasa pula, saya tidak datang tepat waktu. Karena saat sampai di Quarry Bay, jarum jam sudah menunjuk angka sebelas lewat. Shepiah yang sudah menunggu hampir setengah jam di MTR exit C tersebut, tampak memonyongkan bibir dan siap menyemprotkan segala uneg-unegnya. Kepada siapa? Ya, ofcourse tentu saja kepada saya donk. Karena satu dan lain hal saya benar-benar terlambat hari itu. Tak ingin mendengar ceramah doski yang selalunya bili bala bla bla bla, saya segera menyumpalkan headset ke telinga. Suara tante Celine Dion merdu mendayu, bersahutan dengan suara Shepiah yang riuh rendah. Singkat cerita, sampailah kami berdua di tempat yang dituju.
Gedung tempat galeri itu, berada tepat di samping tempat penyemayanan jenasah. Bau harum berbagai macam bunga menusuk hidung. Dengan ragu kami melangkahkan kaki memasuki gedung tersebut. Bulu kuduk terasa merinding, saat kami membuka pintu gedung dan tidak menemui seorang penjaga pun di lantai dasar. Yang kami temui hanya meja jaga kosong. Tampak kotak merah tempat ‘paisan’ tepat di sebelah kanan lift. Shepiah mencengkeram lengan baju saya. Terlihat mulut doski komat-kamit membaca mantra buwahahaha….! Ojo tegang ker, santai saja hahaha! Meski ada sedikit rasa takut menyelinap dalam hati, saya merangsek menuju lift. Di belakang saya, Shepiah semakin cepat membaca doa-doa pengusir setan dan sebangsanya. Lift membawa kami menuju ke lantai 22. Tempat galeri seni berada.
Suasana teramat sepi. Tak ada orang sama sekali. Kami memberanikan diri untuk membuka pintu galeri. Tidak terkunci. Pandangan mata kami bersiborok saat melihat tata ruang yang terkesan spooky bin medeni. “San, yakin ini tempat workshopnya? Kok nggak ada orang di sini? Ih, serem deh suasananya. Kita turun, yuk!” rajuk Shepiah. Saya tak menghiraukannya. Langkah kaki saya beranjak ke sebuah pintu putih bertuliskan staff only. Asumsi saya, ruangan itu adalah kantor para staf atau pekerja di galeri tersebut. Tangan saya bergetar saat memutar gagang pintu. Dan, Masya Allah pembaca, apa yang ada di balik pintu tersebut membuat saya seketika ngakak. Karena ruangan bertuliskan staff only itu, ternyata adalah sebuah toilet. Shepiah yang sedari tadi njepiping (ketakutan-red) dan masih mencengkeram baju saya, ikut tertawa sampai lupa kalau kami masih berada di sebuah galeri seni yang medeni, hihihi.
Susana Nisa
Termuat di rubrik Ada2 Saja Apakabar plus
Februari 2016