Menulis adalah lentera di tengah badai kehidupan
Posted by Unknown 19.58.00 in


Akhir musim semi tahun lalu, saya dan beberapa kawan berkesempatan untuk mengikuti sebuah workshop gratis di daerah Quarry Bay. Dalam ‘woro-woro’ yang disampaikan oleh tim pengkoordinasi di grup wosep, semua peserta tanpa terkecuali diharapkan datang sebelum pukul sebelas pagi. Sebuah ultimatum halus dan tersamar bagi saya yang memang terkenal dengan jam karet alias selalu telat bin molor. Entahlah, kenapa saya tidak bisa belajar dari kedisiplinan warga Hong Kong, yang selalu tepat waktu. Meski sudah satu abad lamanya saya bermukim di negeri ini (buwahaha, seabad jarene, lebay puuooll iki susan pancene), ciri khas sebagai ‘wong indo’ berjam karet, masih lekat menempel. Hal itu sering membuat saya di pleroki bala kurawa juga sobit sobat tercinta. Pasalnya, setiap janjian dengan mereka, saya selalu always tidak pernah never tepat waktu. Bahkan molor-nya bisa satu jam lebih hihihi.
Sekedar inpoh pembaca, saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan kebiasaan telat tersebut. Tetapi, masih juga saya sering terlambat. Semisal, jika saya ada janji ketemu dg si anu, di situ, sekira pukul itu, maka hari minggu pagi saya bangun awal lalu ngrumati si mbah de el el. Saat si anu wosep, “San, dimana?” Saya membalas dengan mengirim emoticon  orang mandi. Padahal masih menjalankan tugas negara, memberi sarapan si nenek. Jika ia kirim wosep lagi, maka saya bilang, “nih, lagi OTW.” Sebenarnya barusan selesai mandi dan berbagai alasan lainnya, hahaha, cari alasan aja ini ceritanya. Saya kira bukan hanya aike yang sering kasih alasan begitu saat ada janji. Yah, kalo mau diadakan survei secara massal, yakin deh, dua pertiga dari penghuni jagat raya, sering menggunakan strategi tersebut. Masih di rumah, bilangnya ‘on the way nih, sepuluh menit lagi nyampai.’ Tapi sepuluh menitnya berubah jadi sejam hahaha.
Back to my story, kawans. Minggu pagi itu, saya sudah janjian dengan mbak Shepiah, salah satu sobit saya. Sejak pagi ia sudah wosep. Ndridil sisan (kirim pesan berulang kali). “San, jangan telat! San awas kalo kamu molor kali ini! Dan pesan senada sampai bosen saya membacanya. Namun, seperti biasa pula, saya tidak datang tepat waktu. Karena saat sampai di Quarry Bay, jarum jam sudah menunjuk angka sebelas lewat. Shepiah yang sudah menunggu hampir setengah jam di  MTR exit C tersebut, tampak memonyongkan bibir dan siap menyemprotkan segala uneg-unegnya. Kepada siapa? Ya, ofcourse tentu saja kepada saya donk. Karena satu dan lain hal saya benar-benar terlambat hari itu. Tak ingin mendengar ceramah doski yang selalunya bili bala bla bla bla, saya segera menyumpalkan headset ke telinga. Suara tante Celine Dion merdu mendayu, bersahutan dengan suara Shepiah yang riuh rendah. Singkat cerita, sampailah kami berdua di tempat yang dituju.
 Gedung tempat  galeri itu, berada tepat di samping tempat penyemayanan jenasah. Bau harum berbagai macam bunga menusuk hidung. Dengan ragu kami melangkahkan kaki  memasuki gedung tersebut. Bulu kuduk terasa merinding, saat kami membuka pintu gedung dan tidak menemui seorang penjaga pun di lantai dasar. Yang kami temui hanya meja jaga kosong. Tampak kotak merah tempat ‘paisan’ tepat di sebelah kanan lift. Shepiah mencengkeram lengan baju saya. Terlihat mulut doski komat-kamit membaca mantra buwahahaha….! Ojo tegang ker, santai saja hahaha! Meski ada sedikit rasa takut menyelinap dalam hati, saya merangsek menuju lift. Di belakang saya, Shepiah semakin cepat membaca doa-doa pengusir setan dan sebangsanya. Lift membawa kami menuju ke lantai 22. Tempat galeri seni berada.
Suasana teramat sepi. Tak ada orang sama sekali. Kami memberanikan diri untuk membuka pintu galeri. Tidak terkunci. Pandangan mata kami bersiborok saat melihat tata ruang yang terkesan spooky bin medeni. “San, yakin ini tempat workshopnya? Kok nggak ada orang di sini? Ih, serem deh suasananya. Kita turun, yuk!” rajuk Shepiah. Saya tak menghiraukannya. Langkah kaki saya beranjak ke sebuah pintu putih bertuliskan staff only. Asumsi saya, ruangan itu adalah kantor para staf atau pekerja di galeri tersebut. Tangan saya bergetar saat memutar gagang pintu. Dan, Masya Allah pembaca, apa yang ada di balik pintu tersebut membuat saya seketika ngakak. Karena ruangan bertuliskan staff only itu, ternyata adalah sebuah toilet. Shepiah yang sedari tadi njepiping (ketakutan-red) dan masih mencengkeram baju saya, ikut tertawa sampai lupa kalau kami masih berada di sebuah galeri seni yang medeni, hihihi.

Susana Nisa
Termuat di rubrik Ada2 Saja Apakabar plus
Februari 2016
Posted by Unknown 19.48.00 in

Jika anda penggemar aktor Bruce Lee, pastinya anda sangat hapal dengan senjata andalan bintang legendaris itu. Dua tongkat pendek yang dihubungkan dengan rantai atau tali, disebut 'Nunchaku'. Senjata yang berbahaya dan bisa membuat kepala benjol bahkan berdarah apabila digunakan secara serampangan. Bukan perkara mudah untuk bisa menggunakannya. Seorang pemilik nunchaku membutuhkan latihan yang intens dan cukup lama agar mampu memainkannya. Pastinya semua orang berpikir hanya kaum laki-laki yang mampu untuk melakukannya. Namun, pendapat itu segera terbantahkan oleh penampilan memukau seorang wanita yang bernama Anik Maslikah. Dia adalah seorang buruh migran Indonesia (BMI) asal Malang. Dia tidak hanya mampu menggerakkan dan memainkannya, tetapi Anik sangat lihai dan mahir untuk menggunakan senjata itu. Tentu saja hal itu bukan hasil latihan semalam. Kelincahan dan kecekatannya memainkan senjata mematikan itu, adalah hasil dari proses panjangnya mempelajari seni beladiri nunchaku. "Dengan selalu giat berlatih, fokus dan percaya pada kemampuan diri sendiri, pasti akan memudahkan kita untuk mempelajari suatu ilmu," ujar anik berbagi tipsnya.
Sosoknya yang kalem dan terkesan pendiam, bisa berubah garang saat berada di arena latihan. Baginya, keseriusan dan kesungguhan dalam berlatih yang akan membentuk karakter seorang seniman beladiri sejati. Tak hanya seni beladiri nunchaku, Anik pun menguasai beberapa seni beladiri lainnya. Tidak main-main, 3 jenis seni beladiri yang memiliki reputasi tinggi di mata dunia, hampir semuanya dia kuasai. Ketiganya adalah kung fu, taekwondo dan wushu. Bahkan berkat ketekunannya, BMI asal Malang itu berhasil mendapatkan medali emas pada pertandingan wushu bertaraf internasional. Sebuah prestasi yang patut dibanggakan, karena lawan dalam pertandingan itu berasal dari berbagai negara.

Dulu Murid Sekarang Guru
Prestasi yang gemilang membuatnya semakin yakin bahwa seni beladiri adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya. Karenanya, Anik memberanikan diri  membuka kelas beladiri nunchaku, untuk siapa saja yang berminat mempelajarinya. Saat ditanya kenapa memilih membuka kelas nunchaku dan bukan seni beladiri lainnya, dengan diplomatis dia menjawab bahwa semua seni beladiri bagus untuk dipelajari. Jika saat ini dia memilih untuk membuka kelas dan mengajar nunchaku, hal itu dikarenakan dia merasa sudah mendalam dalam mempelajari ilmu beladiri itu. Mengajar dan menjadi seorang guru atau pelatih, membuatnya bisa mengenal banyak sifat dan karakter orang. Kegiatan itu, juga mampu membuatnya menjadi sosok yang telaten dan tanggap dengan batas kemampuan setiap individu. "Ada murid yang cepat bisa menyerap semua materi dan sangat tangkas, ada juga yang begitu lambat, sehingga saya harus benar-benar bersabar untuk mengajarinya," paparnya lagi. Dari kegiatan mengajar nunchaku itu pula, yang membuatnya terpilih menjadi duta nunchaku untuk wilayah Hong Kong. Dia mendapatkan kehormatan tersebut, langsung dari presiden direktur Indonesia Nunchaku Club (INC) yang berada di Jakarta. "Alhamdulillah saya diberi amanah yang semoga saja bermanfaat untuk bisa mengenalkan dan mengajarkan nunchaku pada siapapun yang ingin mempelajarinya," katanya sumringah.
Anik pantas bersyukur karena majikan mendukung semua kegiatan yang dilakukannya. Bahkan, sang majikan termasuk salah satu murid di kelas nunchaku tempat dia mengajar. Acungan jempol juga layak diberikan kepada perempuan bersemangat baja itu. Karena selain menguasai berbagai macam seni beladiri, dia juga mahir berbahasa inggris dan pandai menjahit. Dari ketrampilan menjahit, dia sering mendapat orderan baju dan gamis dari kawan sesama BMI lainnya. Sedangkan dengan kecakapannya berbahasa asing, membuatnya dipercaya oleh beberapa kawan dari majikannya untuk memberikan les privat kepada putra putri mereka. Sehingga dia mendapatkan tambahan penghasilan yang lumayan untuk menambah pundi-pundi dolarnya.
Selalu berpikir positif dan bersyukur dengan segala anugerah dari Tuhan adalah prinsip hidupnya. Dan menjadikan kritikan juga pujian sebagai cambuk untuk berusaha lebih baik dalam setiap apa yang dilakukannya. Dia pun berpesan pada semua kawan BMI untuk fokus pada apa yang telah dicita-citakan. "Jangan pedulikan pandangan negatif dari orang lain. Ini adalah hidup kita dan kita sendiri yang menjalaninya. Apapun kegiatan dan profesi yang saat ini sedang kita tekuni, pasti akan membuahkan hasil yang sempurna jika kita fokus dan benar-benar berusaha untuk mencapainya," ujarnya bersemangat.

Susana Nisa
Termuat di rubrik Feature Koran Suara
2 Juli 2014






Popular Posts

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

Translate

Cari Blog ini

Search