Menulis adalah lentera di tengah badai kehidupan
Posted by Unknown 15.16.00 in

Pertengahan musim gugur tahun lalu, tepatnya bulan Oktober, saya berkesempatan untuk berkunjung ke kota Guang zhou, ibu kota provinsi Guangdong. Awalnya, saya berencana melakukan perjalanan ke sana hanya dengan seorang kawan yang hobi mbolang atau backpacking. 






Karena saya ingin merasakan sebuah penjelajahan yang penuh dengan tantangan. Saya ingin mengunjungi tempat-tempat yang tak dikunjungi turis, juga menelusuri jalur yang bukan jalur wisata. Namun, keinginan tersebut harus kandas di tengah jalan, dikarenakan masalah mendasar yang membentur, yaitu keterbatasan waktu dan dana. Sebagai pekerja di ranah domestik yang memiliki jadwal cuti tidak sebebas pekerja di sektor formal, saya harus rela untuk mengikuti paket hemat agen travel. Meskipun saya sadar sepenuhnya, bahwa melakukan perjalanan dengan cara ini hanya cocok untuk para pensiunan. Karena perjalanannya tak dapat disebut sebagai penjelajahan yang memiliki esensi petualangan. Jujur, saya tak berselera bepergian dengan agen travel yang umumnya dilakukan oleh rekan pribumi lainnya. Alasan yang utama adalah, karena mereka selalunya berkerumun, pelesiran duduk rapat-rapat sesama spesiesnya sendiri. Kelihatan betul mentalitas kolektivis dan komunalnya. Tak suka membaur dan indifferent, tak acuh dengan komunitas lainnya.



Namun, sebesar apapun keinginan mbolang dalam hati, semuanya tetap muskil tanpa sejumlah uang dan waktu yang cukup untuk bepergian. Sehingga dengan separuh hati, saya dan seorang kawan memutuskan untuk mengikuti paket hemat dari salah satu agen travel yang memberikan pelayanan cukup baik. Meski pada awal perjalanan sudah membuat ubun-ubun mendidih karena jadwal berkumpul di stasiun kereta Lo Wu, dilanjutkan berangkat dari Shenzhen sekira pukul delapan pagi harus mundur alias molor sampai hampir pukul Sembilan, disebabkan ada beberapa peserta yang datang terlambat. Tetapi syukur Alhamdulillah, keterlambatan mereka tidak begitu mempengaruhi jadwal tur pada saat itu. Sehingga sekira pukul sembilan pagi kami mulai menapaki daratan Cina. 




Setelah menempuh perjalanan panjang, lebih dari dua jam menggunakan bis travel, sampailah kami di makam Saad bin Abi Waqqas, salah satu sahabat dan paman Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah penyebar agama Islam pertama di negeri asal Mao Zedong tersebut. 




Area pemakaman yang dibangun mirip dengan kebun raya atau hutan lindung, terasa sangat menyejukkan. Dari gerbang pintu masuk kita akan disambut oleh rindangnya berbagai macam pohon perdu, bunga dan tanaman lain yang membuat suasana sangat nyaman. 








Jalan  berpaving yang dapat dilalui oleh dua atau tiga orang, membujur sepanjang pintu masuk sampai ke area pemakaman. Memasuki areal pemakaman, terdapat sebuah gazebo atau bangunan mirip dengan pendopo kalau di Jawa. Di sekeliling bangunan itu terdapat musholla khusus wanita, juga sebuah rumah yang diyakini sebagai tempat pertemuan majelis pada masa hidup Sayidina Saad bin Abi Waqqas dan para sahabat-sahabat beliau. 








Terdapat pula sebuah sumur, Shabbi Well yang digali sejak 1300 tahun lalu semasa Saad bin Abi Waqqas hidup, dan masih mengalirkan airnya yang sangat jernih hingga saat ini. Banyak dari para penziarah yang mengambil air dari sumur itu, baik langsung diminum di tempat maupun mengisi beberapa botol air untuk dibawa pulang. Karena kemurnian dan khasiat dari air sumur dipercaya mampu mengobati berbagai macam penyakit. Namun, semua tak lepas dari izin Allah, Tuhan yang Maha menyembuhkan.






Setelah mengunjungi beberapa bangunan bersejarah, para pengunjung bisa langsung masuk ke area pusara sahabat nabi, Saad bin Abi Waqqas. Aroma wewangian bunga dan dupa menyeruak seolah menyambut kedatangan para penziarah. Di tempat peristirahatan terakhir sahabat nabi itu, ritual yang sering dilakukan adalah bersama-sama mendoakan arwah beliau sekaligus ‘ngalap berkah’. Setiap para penziarah berharap, semoga keberkahan yang dimiliki oleh almarhum Sayidina Saad bin Abi Waqqas, juga menular kepada mereka.  















Masjid Tertua, Huaisheng



Warga Tiongkok mayoritas tidak beragama karena negara menganut paham komunis yang tentunya tidak ber-Tuhan atau atheis. Namun, fakta yang menakjubkan adalah bahwa agama Islam berkembang di negeri Cina sejak abad ke-7. Salah satu saksi penyebaran Islam di negeri Tirai Bambu, khususnya Guang Zhou adalah masjid Huaisheng yang bangunan fisiknya mirip kuil dan berasitektur khas Cina. 


 g


Huaisheng adalah salah satu masjid tertua di Cina. Dibangun pada tahun 627, saat itu negara diperintah oleh Dinasti Tang (618-907). Masjid ini dibangun oleh paman Nabi Muhammad, Abi Waqqas pada masa pertamanya penyebaran agama Islam. Huaisheng sendiri bermakna ‘mengingat orang bijak’ yang mengacu kepada pribadi dan sosok nabi Muhammad SAW. 
Disalah satu gerbangnya terdapat sebuah tulisan Cina yang berbunyi ‘agama yang menjunjung tinggi ajaran yang dibawa dari wilayah barat’. 



t





 


Masjid dengan luas 2.966 meter persegi ini memiliki sebuah menara yang mirip mercusuar setinggi 36 meter. Pada masanya, menara ini digunakan untuk menyinari lalu lintas kapal di sungai Zhujiang. Kendati masjidnya menganut arsitektur khas Dinasti Tang, desain menaranya banyak dipengaruhi oleh arsitektur Arab.



 





 Ruang shalatnya dibangun kembali pada tahun 1935 dengan mihrab berbentuk setengah lingkaran, berada menjorok ke luar daripada shaf shalat. 









Masjid ini juga dikenal dengan beberapa nama, diantaranya masjid Hwai Sun Su, Huai-Sheng, Huai-Shang dan Huai-Shang Si. Juga ada yang menyebutnya dengan masjid Agung Canton dan masjid Ying Tong. Para sopir taksi di sana menyebut masjid ini dengan sebutan Muslim Temple. Masjid yang berada di kawasan Guanta-Lu (Guangta Road) No. 56, Yuexiu District, Guang Zhou, disekitarnya terdapat banyak pertokoan yang menjual berbagai macam makanan halal dan oleh-oleh khas hasil kerajinan tangan dari warga muslim di daerah tersebut. 









Karena waktu berkunjung ke makam Saad bin Abi Waqqas saya menggunakan jasa travel, dimana setelah naik KCR (light railway) dan turun di stasiun Lowu, saya segera bergabung dengan rombongan. Jadi setelah melewati imigrasi, kami semua naik bis travel yang telah menunggu kami di terminal area dekat dengan stasiun kereta di Shen Zen. Dan dengan bis itulah kami menuju Guang Zhou dengan tujuan pertama makam sahabat nabi, Saad Abi Waqqas kemudian ke masjid Huai-Sheng selanjutnya makan siang dan membeli oleh-oleh, lalu kembali ke Hong Kong. Jadi untuk jalur transportasi umum, sila tanya mbah gugel, hehehe!

Susana Nisa
Artikel ini termuat di Koran Suara
Rubrik Feature, 2015

0 comments:

Posting Komentar

Popular Posts

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

Translate

Cari Blog ini

Search