Menulis adalah lentera di tengah badai kehidupan
Posted by Unknown 20.20.00 in



Ada merah di pertengahan almanak September. Ketika tiap kali hujan datang. Sejenak menapak tilas jejak musim sebelumnya. Sepoi angin membawa rinai hujan membelai wajah telanjangku. Mengusik kedamaian hati yang tak jengah menyimpan sekeping rindu. Aku dan sebongkah asa yang selalu mengenang senyum abadimu.

Sebuah senyum yang kini terbingkai pelangi di ujung senja. Kulangkahkan kaki keluar dari rumah peristirahatan terakhirmu. Berat rasanya kedua kaki ini melangkah, seolah ada kekuatan magis menahan keduanya. Aku menoleh sesaat. Hanya untuk melihat kembali wajah dan senyummu dalam bingkai kaca. Tapi tak mengapa, karena garis lengkung di kedua bibir mungilmu, telah mampu memberiku kekuatan untuk menyongsong hari esok.

Kupercepat langkah meninggalkan tempat itu. Bukan karena aku takut tentang hal-hal berbau mistis. Namun, karena tak ada penerangan di sekitar area pemakaman ini. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan angka enam lebih sedikit. Itu berarti, hampir satu jam aku berada di sini. A Shan, waktu terasa berhenti ketika aku bersamamu. Meskipun kini semua tinggal kenangan, gumamku perlahan.

Sepuluh menit waktu yang kubutuhkan untuk tiba di halte bus terdekat. Tampak beberapa orang di sana. Tiga wanita dan dua lelaki paruh baya. Aku segera berdiri mengantri di belakang mereka. Lima belas menit berlalu. Tak ada satu pun bus yang lewat. Bosan menunggu, beberapa orang di depanku melambaikan tangan setiap ada taksi melintas.

 Tinggal aku dan seorang bapak,  kira-kira berumur 65 tahun lebih. Capek berdiri, aku beranjak ke dekat pagar pembatas di halte itu. Hanya untuk bersandar. Tak berapa lama, dari kejauhan terlihat bus dengan nomer 269X melaju ke arah kami. Aku menarik nafas lega saat menghempaskan diriku duduk di kursi penumpang deretan paling belakang. Tampak beberapa penumpang terlena dalam mimpi. Dibutuhkan waktu satu jam lebih untuk sampai di boarding houseku, di distrik Yuen Long.

Kubuka tas punggung bututku. Lalu kuambil sebuah buku yang berjudul Walk to Remember, hadiah terakhir darimu. Harum bunga lavender menyeruak saat kubuka lembar halaman pertama. Aku ingat betapa kau sangat menyukai bunga berwarna ungu itu.

 The distinguished and lovely flower, itu yang selalu kau ucapkan untuk mengekspresikan kekagumanmu pada bunga lavender. Aku rindu padamu Shan, sangat merindukanmu, gumamku pelan disela tarikan nafas. Perlahan kupejamkan mata. Kucoba mengurai satu persatu jalinan tali nasib yang telah mempertemukan kita.

***

Rinai hujan seakan enggan berhenti mengguyur bumi. Aku berjalan cepat-cepat menyusuri trotoar berpaving menuju rumah keluarga Leung, majikanku. Jalanan begitu sepi dan lengang. Hanya ada satu dua buah mobil pribadi yang melintas. Tatkala tanpa sengaja mataku menangkap sosok wanita berbusana serba ungu sedang berteduh di halte bus, di seberang jalan. Ia tak melihatku. Pandangannya sibuk menatap kearah berlawanan. Perempuan yang cantik, pikirku. Lalu kembali mempercepat langkah.

 Kecipak ayunan kakiku berhenti tepat di depan rumah berpagar besi berwarna hitam mengkilat. Kukeluarkan kunci perak dari dalam saku jaket. Lalu membuka pintu kecil di sebelah kiri pagar besi itu. Salakan nyaring GeGe, anjing labrador coklat kesayangan Tuan Leung, menyambut kedatanganku. Kulirik saja binatang berkaki empat itu. Tak kusapa. Aku bergegas menuju garasi. Di sana tampak si jantan Elgrand, hitam berkilat seolah  menunggu sentuhanku.

Dua puluh menit berselang, telah kujamah seluruh permukaan tubuh si hitam. Menghangatkan mesinnya lalu mengembalikan kunci mobil mewah itu kepada tuan Leung. Aku mengambil cuti selama seminggu dari kerja rutinku, menjadi sopir pribadi keluarga kaya raya itu.

Dengan tergesa aku berjalan menuju ke arah halte di seberang jalan. Diam-diam senyumku terkembang karena kulihat wanita berbusana ungu masih berada di sana. Tak ada orang di sana. Hanya kami berdua. Dua orang asing yang begitu berbeda. Wanita itu berkulit kuning langsat, bermata sipit dengan postur tubuh ideal. Sedangkan tak jauh di sebelahnya, berdiri lelaki berkulit coklat, berambut kriwil cepak dengan celana jeans dan jaket biru navynya, tampak canggung dan salah tingkah. Lelaki itu, aku. Hujan masih deras mengguyur.

Awan putih merata menandakan bahwa hujan takkan berhenti menyapa kekasih abadinya, bumi. Aku masih blingsatan berdiri kaku di tempat yang sama. Ingin aku menyapa, memperkenalkan diri. Namun, lidahku kelu. Pesona wanita bermata sipit ini seolah menyihirku. Hingga tiba-tiba ia menoleh seraya berkata, “Excuse me, do you have tissue? I used all mine just now.” Aku tak berkata. Secepat kilat kuambil tisu dari dalam tas. Ia tersenyum menerima tisu yang kuangsurkan kepadanya. Ucapan terima kasih dari bibir mungilnya menjadi penerus perbincangan akrab kami.


Ia bermarga Ong. Layaknya orang Hong Kong, ia memiliki dua nama. “My chinese name is Shanny. And my International name is Eugene. Everyone used to call me A Shan.” ujarnya kembali tersenyum. Dengan ragu aku memperkenalkan diri. “Ehm… my name’s Raditya. You may call me Radit.” Ia tertawa saat mengulang namaku. Karena lidahnya tak mampu mengucapkan huruf ‘r’. Mata sipit itu seolah menghilang terapit kedua pipi tembamnya yang terangkat. Rintik air  menemani setiap kata yang terurai hingga bus yang kami tunggu tiba.

Pertemuan singkat di bawah rinai hujan itu adalah sebuah rangkaian kisah yang kiranya telah tertulis di Lauhul Mahfudz, sebelum kami lahir ke dunia. Tali takdir secara kasat mata telah mengikat hati kami. A Shan yang berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus, tidak pernah mempermasalahkan tentang statusku yang hanya seorang sopir.

Hubungan kami semakin dekat. Pihak keluarganya juga memberikan lampu hijau atas kedekatan kami. Hari berganti minggu dan bulan. Semakin lama perasaan sayangku padanya bertambah dalam. Kesabaran A Shan dalam mendidik murid-muridnya, sifatnya yang begitu penyayang dan lemah lembut kepada setiap orang, membuatku mantab untuk meminangnya.

Malam itu, tepatnya di awal September. Betapa pipi putihnya bersemu merah. Mata sipitnya berbinar saat aku memintanya untuk menjadi ibu dari anak-anak kami. Hatiku serasa mengembang ketika ia menganggukkan kepala, tanda bersedia. Kusematkan sebuah cincin bermata biru di jari manisnya. Disaksikan keluarga dan beberapa teman dekat A Shan.


 Lalu rencana untuk pesta pernikahan yang sederhana kami rancang. Sebuah pesta yang berhias lampion dalam berbagai bentuk dan warna. Dan berjumlah empat belas lampion. A Shan menginginkan baju pengantin berwarna ungu. Bukan merah layaknya warna gaun pengantin untuk orang cina. Ia pun ingin semua anak didiknya hadir di hari bahagia itu. Aku menyetujui semua permintaannya. Tak sedikitpun terucap kata tidak dari bibirku. Bagiku, ia bersedia menjadi bagian dari perjalanan hidupku, itu sudah cukup.

Selama dua minggu kami sibuk mempersiapkan segala hal untuk melangsungkan hari bahagia itu. 14 september adalah tanggal yang dipilih oleh A Shan. Ia ingin agar hari lahirnya menjadi simbol bertautnya dua hati dalam ikatan suci.

Pesta pernikahan dilangsungkan di halaman rumah keluarganya, di distrik Fanling. Halaman luas itu nampak indah dengan berbagai hiasan yang terpasang. Empat belas lampion tergantung rapi berjajar sore itu bersama temaram senja di ufuk barat. Pesta pernikahan kami dilangsungkan. Dengan mengenakan gaun pengantin berwarna ungu muda, A Shan terlihat begitu anggun. Di tangannya tergenggam rangkaian bunga lavender yang diikat dengan pita berwarna senada. Ia berjalan sambil menggamit lenganku.


Nampak sanak kerabat dan tamu undangan duduk rapi di kursi-kursi berwarna putih yang berjajar hampir memenuhi halaman rumah. Keluargaku tak datang. Hanya tuan Leung dan keluarganya yang datang. Majikanku itu bersedia menjadi wakil dari pihak mempelai pria, aku.

Langkahku dan A Shan perlahan melewati barisan kursi di mana murid-murid spesialnya duduk. Senyum tersungging di setiap wajah yang kulihat. Anak-anak itu, mereka yang tidak mengenal arti kata kepedihan. Yang mereka tahu hanya berbahagia dan tersenyum menjalani setiap detik yang mereka punya. Berbahagia dalam dunianya. Disampingku, A Shan tersenyum membalas mereka.

Langkah kaki kami semakin dekat dengan altar pemberkatan. Saat tiba-tiba seorang lelaki bercaping berjalan dari arah samping altar. Di tangannya terhunus sebuah pisau.
Matanya nanar menatap kami. Hanya dalam hitungan detik, tragedi berdarah terjadi. Lelaki itu membabi buta mengarahkan serangan pisaunya ke arahku.

 Tanpa kuduga, A Shan mendorong tubuhku ke samping. Dan pisau ditangan lelaki itu menghujam tepat ke dadanya. Darah membasahi gaun ungu yang dikenakannya. Lalu tubuhnya rebah ke tanah. Semua orang, termasuk aku, terperangah tak percaya dengan apa yang terjadi di depan mata kami. Terdengar umpatan dari mulut lelaki bercaping itu dalam bahasa yang tak kupahami.

Teriakan orang-orang untuk menangkap lelaki itu, menyadarkanku dari rasa syok yang melanda. Tak kuhiraukan lagi apa yang dilakukan oleh orang-orang kepada lelaki itu. Perhatianku terpusat pada A Shan. Kugapai tubuhnya yang bersimbah darah. Kurengkuh jasad wanita yang akan kunikahi itu dalam pelukan. Bunga lavender masih tergenggam di tangan kirinya. Tangisku pecah bersama semburat jingga yang memerah.

Beberapa hari setelah tragedi berdarah itu, pihak kepolisian yang menanganinya memberitahukan kepada kami, jika lelaki bercaping yang telah merenggut nyawa A Shan mengidap kelainan jiwa. Ia mengalami depresi karena kekasihnya menikah dengan lelaki lain. Dan ia membenci setiap pasangan mempelai yang akan menikah.

Hari itu, dimana pesta pernikahanku dengan A Shan dilangsungkan, ia yang bekerja paruh waktu di wedding organizer yang kami sewa, merasa marah saat melihat kami berjalan menuju altar pemberkatan. Halusinasi dan ingatannya akan pengkhianatan sang kekasih, membuatnya gelap mata.

Dan terjadilah tragedi yang mengakhiri kebahagianku dan A Shan. Aku dan keluarga menyerahkan semuanya kepada pihak yang berwajib. Kami menginginkan hukuman setimpal bagi lelaki itu.

***

Bus yang kutumpangi perlahan memasuki terminal pemberhentian terakhir. Hanya ada tiga orang penumpang yang tersisa. Malam merayap turun. Lampu-lampu jalanan menyala redup membingkai gelapnya.

Kumasukkan buku pemberian A Shan ke dalam tas. Saat beranjak dari tempat duduk, kurasakan tepukan halus di pundak. Dan harum bunga lavender menyeruak memenuhi indera penciumanku. Aku tersenyum seraya bergumam, “Aku selalu merindukanmu, kau tahu itu.”


Susana Nisa (mrs Hu)
Cerpen ini termuat di tabloid Apakabar plus edisi Juli 2017








0 comments:

Posting Komentar

Popular Posts

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

Translate

Cari Blog ini

Search