Menulis adalah lentera di tengah badai kehidupan
Posted by Unknown 21.27.00 in


Bunga flamboyan berguguran di sepanjang jalan menuju taman kecil di belakang kampus. Sebuah taman tua yang tak terawat. Terkesan sedikit angker dengan pagar pembatas setinggi dua meter mengelilinginya. Wajar jika taman ini selalu sepi. Terkadang, hanya satu dua orang mahasiswa yang terlihat duduk di bangku-bangku taman berwarna coklat tua. 

Salah satunya adalah aku. Bagiku, menikmati warna merah dengan degradasi oranye yang indah menjuntai dari dahan-dahannya, adalah obat paling mujarab untuk melepas lelah. Apalagi saat minggu pertama kemunculan bunganya di bulan Oktober. Ketika cuaca cerah dan langit berwarna biru tanpa awan, bunga flamboyan yang berwarna merah jingga seolah menyala. Bak lukisan yang sempurna dengan latar belakang langit biru lazuardi. Namun, keindahan itu tak bertahan lama. Karena minggu berikutnya, warna bunga flamboyan mulai memudar. Dari merah jingga perlahan ke merah tua yang redup. Kemudian layu dan gugur menutupi tanah di sekitarnya. 

Langkahku berhenti tepat di bangku kayu, di bawah pohon flamboyan yang terletak di ujung taman. Tempat duduk kesukaan kami. Dulu, sebelum kepergiannya. Setiap sore, kami selalu bertemu di taman ini. Menghabiskan waktu berdua, sambil memandangi kelopak-kelopak merah yang perlahan luruh diterpa kesiur angin. Kami bercakap tentang apa saja. Tentang kuliah, keluarga dan impian kami. Suatu saat nanti, ketika musim telah berganti, kala kami sudah mampu untuk membalas budi kedua orang tua masing-masing, kami akan berikrar untuk mengikat janji sehidup semati. 
Di sini, di bawah ranting-ranting pohon flamboyan dengan kelopak merahnya yang berguguran menutupi tanah. Terbayang di pelupuk mata, aku mengenakan gaun pengantin putih. Dan ia dengan stelan jas hitam. Sekilas senyum tersungging di bibirku.

Hanya sesaat. Lalu hampa dan keheningan seolah merengkuhku. Disaat seperti ini, aku akan kesulitan bernafas lalu jatuh terduduk di bangku kayu itu. Tangan ringkihku memegang lengan coklatnya yang semakin rapuh. Aku megap-megap, berusaha menghirup oksigen untuk mengisi rongga dadaku. Beberapa saat berlalu, aku hanya terdiam. Membiarkan setiap inci hatiku membuka lembaran kenangan bersamanya. Perih menyayat kalbu. Tapi aku bergeming. Menikmati rintihan jiwaku yang berdarah mengenang setiap jengkal kisah kami. Aku tak punya pilihan lain. Hanya dengan ini aku mampu bertahan. Mungkin aku sakit. Tapi biarlah. Asalkan kepingan kenanganku tentangnya tetap utuh, tak berubah. 

Petang itu aku terlambat datang ke taman. Tugas kuliah yang menumpuk membuatku harus berada di kampus hingga sore. Hatiku cemas, khawatir kalau ia telah pulang. Namun, ia di sana. Duduk di bangku di ujung taman. Tak ada seorang pun bersamanya. Perhatiannya seolah terpusat pada buku di tangannya. Ia menoleh saat mendengar kecipak langkah kakiku. Seperti biasa, senyumnya terkembang menyambut kehadiranku.

“Kukira kau takkan datang, Dew,” ujarnya pelan.
“Maafkan aku karena membuatmu menunggu. Kau tidak marah, kan?” kataku sambil duduk disebelahnya.
Ia menggeleng. Meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kutatap kedua mata elangnya. Ada mendung menggelayut di sana. Ia Mendesah. Kemudian bibirnya bergetar menceritakan beban yang ada di dalam hatinya. Genggamannya semakin erat. Seakan ingin menyatukan jemari kami. 

Ia berbicara dengan tatapan kosong. Aku pun hanya mampu termangu mendengar setiap kata yang meluncur dari bibirnya. Ia mengatakan, setelah prosesi wisuda kelulusan kami, ia harus segera kembali ke kampung halamannya di Sumatera. Kembali untuk menunaikan janji dan amanah mendiang sang ayah. Menikah dengan perempuan yang telah dijodohkan oleh keluarganya. Ia adalah satu-satunya anak lelaki yang akan meneruskan nama besar dan marga keluarga. Karena itu, untuk pemilihan pendamping hidup, mendiang ayahnya telah memilihkan seorang perempuan dari keluarga terpandang yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya. Penolakan tak pernah ada dalam tradisi perjodohan semacam ini, meski ia seorang lelaki. Tanggung jawab moral kepada kedua orang tua dan keluarga besar, harus ia junjung tinggi. Walaupun kebahagiaannya yang menjadi taruhan.

“Maafkan aku Dew. Seharusnya aku berterus terang padamu sejak dulu tentang hal ini,” ucapnya dengan nada berat. 
Aku ingin mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Kenapa? Mengapa? Tapi tak satupun kata terucap. Lidahku kelu. Bulir-bulir airmata luruh menggelincir dari kedua mataku. 
“Kau tidak akan membenciku, kan?” Nadanya semakin berat. 

Jemarinya perlahan mengusap pipiku yang basah oleh air mata. Aku menggeleng. Kucoba melawan desakan amarah, kesedihan dan sakit yang teramat sangat. Tiga tahun hubungan kami harus berakhir seperti ini. Hampir setengah windu, dan baru sekarang aku mengetahui jika lelaki yang kucintai, lelaki yang selalu mengisi hari-hariku, lelaki yang berbagi mimpi dan harapan tentang masa depan denganku, telah terikat janji dengan seorang perempuan di tanah kelahirannya. Seharusnya aku mengumpat, memaki atau bahkan menampar dan menendangnya. Namun, aku tak mampu. 

Pandang mata kami beradu. Kurasakan hawa hangat mengalir bersama desiran darahku. Entah siapa yang memulai. Yang kutahu, bibir kami bertemu. Saling memagut. Setelahnya kurasakan sensasi luar biasa. Nafas kami memburu. Ia semakin erat memelukku. Tubuh kami menyatu di keremangan senja di bawah naungan pohon flamboyan. Ia masih mendekapku, sesaat setelah momen berbagi kasih yang barusan terlewati. 

“Terima kasih Dew. Akan aku bawa kenangan ini sampai kapanpun.” Ia tersenyum. Sekilas, nampak ada kilatan merah di kedua matanya. Ia melempar pandangan ke depan, sehingga aku tak bisa menatap matanya. Ah, mungkin hanya refleksi dari bunga flamboyan, batinku. Aku membalas senyumnya. Menggamit lengannya yang menggandengku keluar dari taman. Kami menyusuri jalan kecil menuju halaman kampus. Ia tak banyak bercakap. Aku pun hanya diam. Mendekatkan kepalaku ke sisi lengannya. Gelisir angin menerbangkan daun-daun kering yang luruh di tanah.

Ia mengantarkanku sampai ke tempat kos yang terletak tak jauh dari kampus. Ia tersenyum, mengecup keningku dan membisikkan sesuatu di telingaku. Lalu ia berbalik arah, berjalan menyusuri jalan yang barusan kami lewati. Aku masih berdiri di depan pagar rumah kos. Berat rasanya kakiku melangkah. Entahlah, rasa sepi itu kian menjadi, manakala kulihat ia berjalan semakin menjauh. Seolah perpisahan ini untuk selamanya.

Dua hari setelah pertemuan kami di taman itu, ia sama sekali tak bisa dihubungi. Ponselnya tidak aktif. Ia juga tidak ke kampus. Saat kutanyakan kepada teman-temannya, tak seorang pun yang mengetahui. Salah seorang teman kosnya mengatakan, sejak dua hari yang lalu ia tidak kembali ke tempat kos. Otakku berputar mencerna informasi itu. Aku bertemu dengannya tepat di sore hari, dua hari yang lalu. Setelah kejadian di taman dan mengantar aku ke tempat kos, ia berjalan kembali menyusuri jalan kecil menuju ke taman. Tapi apa mungkin ia berada di taman selama dua hari ini? Untuk apa? Kenapa ia tak menjawab telpon dan membalas pesanku? Berbagai pertanyaan berseliweran di kepalaku. 

Dengan seribu rasa penasaran dan harap cemas, aku bergegas menuju taman di belakang kampus. Sunyi. Tak ada siapapun di sana. Kakiku terus melangkah di atas luruhan bunga flamboyan yang semakin memerah. Semburat matahari senja menyusup diantara rimbun daun dan bunganya. Langkahku terhenti saat mataku menangkap pendar sinar berwarna jingga, di bawah pohon flamboyan terbesar yang ada di ujung taman. Ada rasa takut menyusup. Tapi rasa penasaran membuat kakiku bergerak maju. Mataku terbelalak saat aku berada dua meter dari pohon kokoh berkulit hitam mengkilat itu.

Di depanku, nampak seorang perempuan duduk bersimpuh di tanah. Rambut panjang jingganya terurai menutupi wajah seorang lelaki di pangkuannya. Ia menunduk. Jari jemari berkuku panjang dengan warna senada rambutnya, mengusap dada telanjang lelaki itu. Lalu, dengan satu hentakan kuat, kuku perempuan itu menembus dada lelaki di pangkuannya. Dan saat ia mengeluarkan tangan dari dada lelaki itu, terlihat segumpal daging berwarna merah pekat dalam genggamannya. Ia mendekatkan gumpalan daging itu ke mulutnya. Kemudian dengan rakus ia melahap gumpalan daging itu. Aku terbelalak melihat pemandangan mengerikan di hadapanku. Ketakutan melandaku. 

Rupanya perempuan itu mengetahui kehadiranku. Wajahnya terangkat dan melihat lurus kearahku. Rambut jingganya tersibak. Di saat yang sama aku bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu. Aku terkesiap. Mataku membelalak tak percaya dengan apa yang kulihat. Lelaki itu adalah Prasetyo, kekasihku. Tubuhku luruh, jatuh terduduk. Aku syok. Kakiku seolah menancap ke tanah. Sementara perempuan itu nyalang menatapku. Perlahan ia bangkit dan berjalan menghampiriku. Aku ingin berteriak, namun suaraku tercekat di tenggorokan. 

Ia semakin mendekat. Aku menggigil ketakutan melihat seringai liarnya. Tiba-tiba ia berhenti, tangannya terangkat dan menunjuk kearah perutku. Aku seolah membeku. Tak mampu bergerak sedikitpun. Dapat kurasakan angin berhembus di sekelilingku. Nampak perempuan itu mengibaskan rambutnya. Dan bunga-bunga yang berguguran di tanah berputar mengelilinginya. Lalu ia lenyap. Di kejauhan, samar terdengar suara adzan maghrib berkumandang. Aku sempoyongan mencoba melangkah kearah tubuh Prasetyo yang tergeletak bersimbah darah. Kedua kakiku seolah tak bertulang. Tubuhku limbung jatuh terduduk di dekat jasadnya. Kurasakan pandanganku berkunang-kunang. Lalu gelap pekat menyelimuti.

Yang kutahu saat membuka mata, aku telah berada di bangsal rumah sakit. Sekujur tubuhku terasa ngilu. Ayesa, sahabatku, nampak tertidur di kursi sebelah ranjang tempatku terbaring. 
“Sa,” kucoba membangunkannya. Ia tergeragap dan membuka mata.
“Masya Allah, Alhamdulillah Dew, kamu sudah sadar.” Senyum yang menyiratkan rasa lega  terpancar di wajahnya. Tanpa aku minta, ia menceritakan kenapa aku sampai dirawat di rumah sakit. Karena hampir tengah malam aku belum kembali ke tempat kos, Ayesa meminta bantuan beberapa kawan untuk mencariku. Mereka menemukanku tergeletak tak sadarkan diri di bawah pohon flamboyan, di taman belakang kampus. Pakaianku dipenuhi bercak darah yang telah mengental. Panik dan khawatir dengan keadaanku, mereka segera membawaku ke rumah sakit. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi. Perlahan kesadaranku kembali utuh. 

“Lalu, bagaimana dengan Pras? Apa ia masih hidup? Ia tertolong? Di mana ia sekarang?” berondongku pada Ayesa. Sahabatku itu menatapku. Ia menghela nafas. 
“Kami tidak menemukan Pras di taman itu Dew. Di sana hanya ada kau yang terkapar pingsan. Sendirian, tak ada seorangpun. Dan sampai detik ini, tak ada kabar di mana ia berada.” Aku termangu. Sketsa kejadian di taman tergambar nyata. Wanita berambut jingga yang merobek dada Prasetyo. Lalu mengambil gumpalan hitam dari dalam dadanya kemudian memakan gumpalan itu. Tatapan liar dan seringai wanita itu, sebelum ia lenyap bersama luruhan bunga-bunga flamboyan. Aku ingat semuanya. Tapi kemana tubuh Pras? Apa ia masih hidup? Kepalaku serasa pecah mencoba menerka apa yang terjadi dengannya.

“Istirahatlah Dew. Dokter menyarankan agar selama dua sampai tiga hari ke depan, kau tinggal di rumah sakit. Tak usah kau pikirkan Prasetyo lagi. Pihak keluarga dan teman-temannya sudah melaporkan ke polisi jika ia menghilang sejak dua hari yang lalu. Kau istirahat saja untuk memulihkan kondisi tubuhmu,” kata Ayesa menenangkanku. 
Aku hanya mengangguk. Ingin kuceritakan tentang apa yang aku lihat di taman, namun, kuurungkan. Tak akan ada yang mempercayai ceritaku, batinku.  

Setelah kejadian di taman itu, tak ada lagi kabar tentang bagaimana dan di mana Prasetyo berada. Ia menghilang bagai di telan bumi. Sedangkan aku harus berjuang sendiri menghadapi kenyataan, jika kini aku mengandung benih dari lelaki yang kucintai. Tujuh bulan sudah usia janin dalam rahimku. Aku tetap mempertahankannya, meski pihak keluarga menentang dan menyuruhku untuk menggugurkannya. Beruntung pihak universitas tetap mengijinkanku untuk melanjutkan kuliah. Aku bergeming dan tidak peduli dengan anggapan teman ataupun beberapa dosen yang sering kali menyindirku. Menganggapku wanita murahan karena hamil di luar nikah. Walau terkadang, begitu lelah jiwa dan raga ini menjalani hari-hari tanpa kepastian. 

Hanya taman di belakang kampus inilah tempatku menenangkan diri. Mengenang setiap jumput kenangan tentangnya. Tentang mimpi kami. Kuusap perlahan perutku yang semakin membuncit. Kurasakan kehangatan di sana. Kucoba menutup mata, menghirup aroma bunga flamboyan yang diterbangkan angin senja. Tiba-tiba kurasakan sebuah telapak tangan mengusap lembut pipiku. Dingin. Refleks mataku terbuka. 

Nampak seorang lelaki yang selama tujuh bulan ini menghilang, berdiri tepat di depanku. Wajahnya pucat. Matanya semerah darah. Tajam menatapku. Aku mengerjap. Tak percaya dengan apa yang kulihat. “Pras,” bibirku bergetar menyebut namanya. Ia mengalihkan pandangannya kearah perutku. Perlahan tangannya bergerak turun dan berhenti di sana. Kembali ia menatapku. Aku mengangguk, seolah menjawabnya. Ujung bibirnya terangkat membentuk sebuah seringaian. Seringai yang kukenal. Sebelum aku sempat mengumpulkan ceceran ingatanku tentang kejadian tujuh bulan lalu di taman ini, kurasakan tangannya yang sedingin balok es mencengkeram perutku. Aku terkesiap. Karena wajah Prasetyo perlahan berubah menjadi wajah perempuan berambut jingga.   

Choi Hung, 7 Februari 2017

Susana Nisa
Cerrpen ini termuat di Tabloid Apakabar plus
4 Maret 2017

0 comments:

Posting Komentar

Popular Posts

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

Translate

Cari Blog ini

Search