Menulis adalah lentera di tengah badai kehidupan
Posted by Unknown 18.56.00 in

Cuaca cerah. Langit biru lazuardi tanpa segumpal awan. Disepanjang jalan desa menuju Masjid Tiban, nampak rumah-rumah warga dengan kesibukannya masing-masing. Sepeda motor yang saya kendarai, berpapasan dengan sebuah mobil pick up bak terbuka yang berjalan pelan. Diatasnya, terdengar riuh rendah suara sekelompok ibu-ibu berbusana muslim senada. Tak jelas apa yang mereka bicarakan. Roda dua milik saya melaju pelan diantara pengendara yang lain. 




Jalan desa itu sudah tertata dengan sangat baik. Terdapat toko-toko yang menjual berbagai makanan, minuman, buah juga souvenir berupa sajadah, jilbab, tasbih dan kerajinan dari kayu. Suasananya pun sangat jauh berbeda dengan desa pada umumnya. Hal itu dikarenakan keberadaan sebuah masjid yang dikenal dengan nama Masjid Tiban atau Masjid Ajaib.

Masjid yang berdiri megah di tengah-tengah perkampungan penduduk itu, ternyata bukan hanya sebuah masjid, melainkan Pondok Pesantren yang bernama Salafiah Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah yang bermakna laut madu atau Fadilah Rahmat. Dengan arsitektur menawan perpaduan dari gaya India, Cina, Arab dan Eropa, membuat setiap pengunjung berdecak kagum akan keindahannya. Berhias ornamen kaligrafi dengan lapisan emas yang bentuk, warna dan coraknya berbeda antara satu ruangan dengan ruangan lainnya, menambah daya tariknya. Bahkan, kemegahannya pantas disandingkan dengan Blue Mosque atau Masjid Biru yang ada di Turki.

Sang arsitek dibalik kemegahan Masjid Tiban adalah Romo Kiai Haji Ahmad Bahru Mafdlaluddin Al Mahbub Rahmat Alam atau yang akrab disapa Romo Kiai Ahmad. Beliau mengaku mendapat ilham untuk membangun sebuah masjid saat beliau shalat Istikharah. Pembangunan masjid dimulai sejak tahun 1978 dan selesai pada tahun 2008. Masjid itu dinamakan Masjid Ajaib atau Masjid Tiban, karena masyarakat di sekitarnya tidak mengetahui kalau dalam kurun waktu tiga dekade itu, tengah dibangun sebuah masjid dalam area pondok pesantren. 

Proses pembangunannya yang terkesan senyap dan tertutup, membuat banyak orang beranggapan bahwa masjid itu dibangun dengan bantuan jin. Namun, pihak pengelola pondok pesantren menepis anggapan-anggapan aneh itu dengan memberikan keterangan tertulis yang terpampang di depan meja penerima tamu yang berbunyi, “Apabila ada orang yang mengatakan bahwa ini adalah pondok tiban (pondok muncul dengan sendirinya), dibangun oleh Jin dsb, itu tidak benar. Karena bangunan ini adalah Pondok Pesantren Salafiyah Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah yang murni dibangun oleh para santri dan jamaah.”
Meskipun pihak pengelola pesantren (orang dalam) menegaskan bahwa Masjid Tiban bukan hasil kerja para lelembut atau makhluk halus, namun, dengan ruangan-ruangan besar yang terpisah, bertingkat dan pencahayaan temaram, membuat suasana terasa sunyi dan dingin. 


“Kesannya itu kayak masuk ke dalam gua. Karena terasa sunyi dan lampunya temaram. Dan saya sedikit heran, karena tidak melihat ada santri yang melakukan kegiatan di area masjid. Kan, katanya ini pondok pesantren, tapi kok, tidak tampak santri yang berlalu lalang,” tutur Suci, salah seorang pengunjung. Pada siang hari, memang sama sekali tak terlihat ada kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh para santri. Yang ada hanya santri yang bertugas di pintu masuk dan menjadi pemandu para pengunjung. Hal senada diungkapkan oleh Rita, turis lokal dari Madiun yang berkunjung ke masjid itu bersama keluarganya, “Kalau angker sih, tidak. Cuman saat di tempat sholat untuk perempuan, saya merasa gimana gitu, sedikit merinding. Jadi saya memutuskan untuk sholat di teras.” Tempat sholat untuk perempuan yang berada di depan kantin masjid, memang terletak agak di bawah permukaan tanah, semacam lantai dasar. Dan jarang terlihat jamaah perempuan yang masuk ke dalamnya.



Terlepas dari suasana sunyi dan terkesan eerie yang dirasakan oleh beberapa pengunjung, Masjid Tiban memiliki sejuta pesona untuk dikunjungi. Masjid tersebut memiliki 10 lantai. Terdapat lift dan tangga yang menghubungkan setiap lantai. Di lantai 1, pengunjung akan disambut oleh akuarium yang berukuran besar dengan berbagai macam ikan hias di dalamnya. Tingkat 1 sampai tingkat 4 digunakan sebagai tempat kegiatan para Santri Pondokan, menurut keterangan pemandu. Lantai 6 berfungsi seperti ruang keluarga, sedangkan lantai 5, 7, dan 8 terdapat toko-toko kecil semacam minimarket yang di kelola oleh para Santriwati (santri wanita). Berbagai macam makanan ringan dijual dengan harga murah. Selain itu tersedia juga sarung, sajadah, jilbab, tasbih dan sebagainya. Para pengunjung akan berdecak kagum manakala mereka sampai di lantai teratas masjid. Di situ akan dijumpai kubah dan menara-menara yang berhiaskan motif cantik menawan. Juga ada kolam renang dan perahu kecil sebagai pajangan. Bahkan ada monyet, kelinci dan berbagai macam burung di sana. Ruangan teratas masjid itu sebenarnya adalah kamar pribadi Kyai. Di situ juga terdapat ruang tamu dan kamar tidur.

Cara berkunjung ke Masjid Tiban sangatlah mudah. Jarak Turen dengan kota Malang sekitar 27 km, bisa ditempuh dalam waktu setengah hingga satu jam, jika jalan sedang tidak macet. Lahan parkir pun tersedia di area depan masjid dengan tarif 2000 rupiah. Kalau ingin berkunjung naik kendaraan umum juga bisa. Dari kota asal Anda, naik bis tujuan Kota Malang. Lalu turun di Terminal Arjosari, Malang. Setelah itu naik angkot lagi yang menuju ke Terminal Gadang. Bisa jurusan AG, AMG, LDG dan GDL. Namun, untuk lebih cepatnya, naik saja jurusan AG, yang mengambil jalur kawasan kota. Sampai di Terminal Gadang, Anda bisa naik bis jurusan Malang-Dampit. Lalu turun di Pasar Turen. Kemudian cari ojek yang bisa  mengantar Anda ke Masjid Tiban, di Jl. K.H. Wahid Hasyim Gg. Anggur Rt 27 Rw 06 desa Sananrejo, Turen.
Pengunjung tidak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun untuk masuk ke dalam masjid. Hanya diharuskan untuk izin pada saat masuk dan keluar kepada petugas yang ada di depan pintu masuk. Tapi perlu diingat, Masjid Tiban bukanlah sebuah tempat wisata, melainkan sebuah pondok pesantren. Jadi penting untuk menjaga sopan santun dan berpakaian rapi. Sedangkan untuk pengunjung muslim diharuskan untuk berbusana muslim. 

Susana Nisa
Artikel ini termuat di Koran Suara

0 comments:

Posting Komentar

Popular Posts

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

Translate

Cari Blog ini

Search