Entah bagaimana aku menarasikan kenangan tentang Rieka, sahabatku saat kami sama-sama menuntut ilmu disebuah sekolah kejuruan di kota kelahiran kami, Malang, Jawa Timur. Apa yang kami alami membawaku pada satu kenyataan, bahwa inilah misteri kehidupan. Setiap langkah mengantar kita pada tikungan yang tak terduga. Mei 2002, satu bulan sebelum kelulusan kami, Rieka telah menuntaskan takdirnya pada sebuah tikungan yang aku sendiri tak pernah menduganya. Setelah hampir tiga tahun ia berjuang melawan penyakit yang merongrong tubuh ringkihnya. Inilah hidup, dengan misteri yang berlapis-lapis yang acapkali tak terprediksi. Aku tak seberapa ingat bagaimana awal perkenalan kami. Sebagai sesama siswa baru yang harus melewati masa MOS (masa orientasi siswa), di mana setiap siswa baru akan di kerjai oleh para kakak kelasnya, saat itulah aku mengenalnya. Ia sosok yang unik diantara teman-teman wanita yang lain. Dengan tubuh kurus tinggi dan kulit berwarna coklat, ia selalu tersenyum saat pandang kami bertemu. Perkenalan tersamar, yang pada akhirnya mengikat kami menjadi sahabat.
Persahabatan yang kami jalani dengan ringan, tidak selalu kami terlibat obrolan panjang atau pun intensif. Tapi setiap kali perbincangan terjadi, akan menjadi sesuatu yang seolah memacu adrenalin kami untuk selalu tertawa melihat dunia. Hal yang paling menarik untuk kami perbincangkan adalah tentang sepak bola. Rieka tergila-gila dengan As Roma, salah satu klub liga serie A Italia. Aku juga menyukai klub itu. Rieka fans berat dari Montella, sedangkan aku penggemar fanatik Franscesco Totti. Saat tim kesayangan kami berlaga, maka pagi hari saat di sekolah, bukan mata pelajaran atau pekerjaan rumah yang kami perbincangkan. Namun, bagaimana hasil pertandingan, siapa pencetak gol dan aksi bintang-bintang idola kami. Juga tentang mimpi-mimpi kami untuk bisa menjejakkan kaki di Roma, Italia. Rieka menatap masa depan dengan optimis. Masa yang indah dan menantang. Meskipun ia tahu bahwa penyakit yang dideritanya, perlahan namun pasti semakin menggerogoti kekebalan tubuhnya.
Menjelang hari kelulusan, Rieka jatuh sakit. Ia yang setiap pagi aku temui tersenyum manis di deretan bangku paling ujung di kelas, tak nampak. Aku resah, bimbang, karena tahu pasti ada sesuatu yang terjadi padanya. Benar perkiraanku, siang hari, ibu Titik wali kelas kami memberitahukan, bahwa semalam kondisi Rieka ngedrop dan harus dirawat di rumah sakit. Sepulang sekolah, aku dan beberapa teman sekelas bergegas ke rumah sakit untuk menjenguknya. Siang itu terik mentari tak begitu menyengat, waktu menunjukkan pukul setengah tiga, jam besuk untuk para pengunjung di rumah sakit islam Gondanglegi, Malang. Aku, Titin dan Wiwiet bergegas masuk ke ruang perawatan dimana Rieka terbaring. Di depan pintu, kami berhenti sejenak, mencoba melongok ke dalam kamar. Lalu mengetuk pintu. Seorang perempuan paruh baya, menyambut kami dengan senyum yang sangat dipaksakan.
"Eh nak, mari masuk," beliau menyilahkan .
Bergegas kami masuk dan mendekat ke ranjang tempat Rieka dirawat. Ia nampak tak berdaya dengan jarum infus dan beberapa selang yang menggelayut disekujur tubuhnya. Aku raih tangannya dan kugenggam erat. Gurat wajahnya sayu. Matanya kuning. Namun ia tetap tersenyum menyambut kami.
"Sakit San. Sakit sekali. Aku tak mau pergi. Aku belum ke Roma. Aku masih ingin mengikuti wisuda kelulusan kita,” ucapnya sambil terisak menahan sakit.
Aku, Titin juga Wiwiet menunduk demi menahan airmata. Aku ingin terlihat kuat demi menjaga semangatnya. Tapi ternyata aku tak mampu. Tapi siapa gerangan yang sanggup menjaga ketegaran hati, demi melihat ketakberdayaan seorang sahabat yang didera kesakitan luar biasa. Perlahan air mata pun luruh, tak kuasa hatiku melihat keadaannya.
"Apa yang terjadi pada diriku? Aku lelah. Penyakit ini tak juga menyerah. Ia semakin mengganas. Kenapa aku yang harus menderita penyakit ini, kenapa?" tanyanya sambil terisak.
Aku tercekat. Tak berdaya pada saat yang sama. Aku paham betul kegalauan hatinya.
"Kau pasti dapat melalui semua ini. Kau harus melawannya. Semangat dan berpikirlah positif. Kau pasti akan baik-baik saja," aku berusaha menenangkannya.
Trenyuh hatiku melihat keadaan Rieka. Namun aku tidak ingin semangatnya runtuh. Ketegaran hati itu harus tetap dijaga. Selalu aku katakan, "Jangan takut. Sudah kau hadapi yang lebih dari ini. Kau pasti sanggup bertahan. Percayalah." Kembali mata kami beradu. Kutemukan setitik harap di sana. Dan ia pun tersenyum.
Satu jam lebih kami menjenguknya. Kami pamit undur diri saat Rieka tertidur sementara tanganku masih dalam genggamannya. Aku berdoa dengan hati yang patah. Bukan lagi airmata yang aku sembunyikan, melainkan isak tangis demi tak mengganggu tidurnya. Esoknya hari Sabtu sore, aku datang seorang diri dengan membawa kue terang bulan isi coklat, kesukaannya. Hari itu Rieka nampak tak terlalu kesakitan lagi. Ia terlihat tenang dalam penjagaan ibunya. Tapi aku tahu, ketenangan itu hanyalah sesuatu yang semu. Rasa tenang itu karena pengaruh obat pereda sakit dosis tinggi yang setiap 2 jam sekali disuntikkan ke tubuh ringkihnya. Di sisi lain, kesadarannya semakin menurun. Walaupun demikian, Rieka tetap selalu berusaha menunjukkan semangat hidup untuk berjuang melawan sakit yang dideritanya. Hari itu kami berbicara tentang banyak hal. Sekolah, hasil ujian akhir juga hasil pertandingan sepak bola antara AS Roma melawan AC Milan semalam. Ia tampak menyesal karena tak dapat menyaksikan keseluruhan pertandingan, dikarenakan obat tidur yang diberikan dokter. Dan seperti kemarin, aku menunggu hingga ia tertidur untuk pamit. Seolah aku berusaha mengingkari sebuah perpisahan. Karena sesungguhnya aku tak sanggup mengucapkan kata pamit kepadanya. Kesedihan dan kepedihan hatiku tak terjelaskan.
Senin 20 Mei 2002
Sore mendung ketika itu dengan gumpalan awan berwarna abu pekat. Aku sedang termenung di teras tatkala berita itu datang. Rieka telah pergi meninggalkan semua cita dan harapannya. Hatiku terasa kosong. Seumpama lorong gelap tanpa setitik cahaya. Perasaan hati seolah mengambang, melayang entah kemana. Ada sebuah labirin yang semakin menjauh. Aku tahu, itu adalah labirin kehidupannya.
***
Salam untukmu sahabatku. Bawalah doa kami bersamamu. Semoga cahaya surgawi menerangi dan menjadi pandu menuju ke haribaan-Nya. Akan kubawa mimpimu. Akan kuwujudkan harapanmu. Suatu saat, akan kuinjakkan kakiku di tanah yang telah dijanjikan mimpi-mimpi, Roma, Italia. Aku akan ke sana sahabatku. Akan kuukir nama kita di bawah langit De Fontana De trofi. Selamat jalan Rieka. Semoga Tuhan memelukmu dalam damai dan kasih-Nya.
In memoriam
Sahabat kami, RIEKA PUSPITASARI
Siswi SMKN 1 Turen Malang,
Klas AK 2 Angkatan 2002
Susana Nisa
Cerpen ini termuat di Majalah Iqro
0 comments:
Posting Komentar