Di penghujung bulan Maret tahun ini, nampaknya musim enggan untuk beralih. Suhu udara masih dingin menggigit ditingkahi angin yang semriwing. Apakah hal itu dikarenakan oleh pemanasan global? Ataukah musim semi ditunda sampai tahun depan? Entahlah pembaca, Saya tak tahu jawabnya.
Yang pasti hari Minggu, 27 Maret lalu saya mendapat mandat dari bu Manager Ungu untuk menjadi salah satu tour guide dalam acara Indonesia Tour yang difasilitasi oleh sebuah LSM lokal. Tugas kami memandu tujuh mahasiswa dan seorang dosen dari the School of Contemporary Chinese Studies, University of Nottingham, UK, untuk berkeliling kawasan Viktoria Park dan sekitarnya. Bule-bule dari negeri pangeran Harry itu ingin mengetahui lebih dalam tentang kegiatan dan kondisi para pekerja migran dari Indonesia.
Saya yang memang ngepan dengan para mahkluk bermata biru, tentunya bersuka cita, berbunga-bunga dan bahagia bagaikan menerima berkah dari santa hahaha. Hari Minggu tibalah, saya dan beberapa kawan yang telah mendapat mandat, berkumpul di café di belakang perpustakaan. Hati dag dig dug ser. Saya sama sekali tidak bisa fokus saat staf dari LSM menjelaskan tentang detail rencana touring nantinya. Yang ada dalam benak saya, sebentar lagi bisa mendengarkan secara langsung British Accent dari penduduk asli negeri yang memiliki bentuk pulau seperti tatakan kue sempret itu.
Dan, waktu yang ditunggu tiba juga. Sang dosen bersama ketujuh mahasiswanya datang. Ternyata tidak semua Britons (sebutan untuk orang Inggris). Dua mahasiswa dari Cina, dua lagi dari Hong Kong, satu dari Bulgaria dan dua yang menurut saya nampak seperti saudara kembar adalah Britons. Sedangkan sang dosen bernative Jerman.
Sesi pertama adalah perkenalan. Saya yang semula relaks, menjadi ndredeg, nervous bin grogi. Bahkan saya tidak mampu mendengar dengan jelas saat si mas-mas bule dan Hong Kongers menyebut nama mereka. Hanya dua mahasiswa cewek dari Cina yang saya dengar. Itupun setelah mereka mengulang untuk ketiga kalinya. Budeg kah saya? Ah, tidak juga. Ini kemungkinan hanya sebuah reaksi normal dari wabah ge-er. Demi mendengar suara mereka dengan bahasa Inggris yang empuk, lembut bagai beledu, ditingkahi tatapan cool dari si mas Bulgaria, aduh biyung…klepek deh rasa hati inyong hohoho.
Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Sebagai seorang pembokat internasional dengan jadwal manggung lebih dari satu dekade buwahaha, saya segera bisa menguasai diri. Berlagak seolah tour guide profesional hehehe. Mungkin kalau bu manager Ungu membaca tulisan ini, ia pasti jingkrak-jingkrak pengin segera njitak saya hahaha. Biarlah, lewati saja dia wkwkwkwk.
Setelah semua siap, touring pun dimulai. Tujuan pertama adalah gedung konsulat. Disana kami menjelaskan tentang kondisi BMI keseluruhan mulai dari pemberangkatan hingga kondisi kerja di Hong Kong. Singkatnya ini itu bla bla bili bala. Dilanjut ke Sugar street lalu ke Indo Market untuk memperkenalkan makanan tradisional Indonesia. Disini kami berpasangan. Saya in pair dengan si Bulgari. Dan bu Ungu dengan bintang K-Pop Hong Kong.
Mulailah kami menjelaskan tentang berbagai makanan yang ada di mini market itu. Di tengah percakapan, saya yang penasaran dengan nama si mas Bulgari, nyeletuk. “Sorry, what was your name again?” Oh, My name’s Vasio bla bla bla. Terlalu panjang dan sulit ngucapinnya pembaca. Yang jelas terdengar hanya Vasio. Karena saya terbiasa dengan bahasa Kantonis, maka Vasio di telinga saya berubah menjadi fatsiu. Ketika salah satu si mas Hong Kong mendengarnya, ia reflek menjawab jika nama Vasio sering kali diplesetkan fatsiu oleh mereka. Sedangkan Vasio, si cool bermata coklat dengan rambut segelap madu murni itu, hanya tersenyum saat saya bergumam, ganteng-ganteng ternyata fatsiu. hehehe.
Termuat di Tabloid Apakabar plus