Menulis adalah lentera di tengah badai kehidupan
Posted by Unknown 20.25.00 in

Setahun aku mengenalmu. Tepatnya di musim gugur tahun lalu. Seperti perkenalanku dengan kawan yang lain, begitupun denganmu. Tak ada yang beda. Semua mengalir apa adanya. Kita adalah sepasang hati retak yang dipertemukan keadaan untuk menjadi sebuah pelukan yang menguatkan. Mencipta tempat paling nyaman, ketika gejolak kehidupan bergelombang mengirim cobaan. Aku hanya seorang wanita dengan hati yang tertoreh luka. Mencoba mewujudkan harapan-harapan yang selama ini hanya bisa terangkum dalam doa-doa. Usiaku belum genap 23 tahun. Namun, di pasporku tertulis 26 tahun. Entah bagaimana para makelar tenaga kerja itu menyulapnya. Yang kutahu, pasti uang berbicara.

Kau juga seorang wanita biasa. Namun, keadaan yang merubahmu menjadi wanita setengah pria. Tomboy, itulah sebutan keren untuk kaummu. Ciri khasmu, jeans belel yang berlubang di sana-sini. Rantai panjang tergantung dari saku depan ke saku belakang. Dengan atasan kemeja putih lengan panjang khusus cowok, tak lupa rambut cepak klimis berbau minyak gatsby. Belum lagi sepatu merk nike warna merah dengan tali berbeda warna. Benar-benar menambah sempurna penampilanmu. Sekilas tak seorang pun mengira kau adalah wanita. Karena gerak dan langkahmu sepenuhnya nampak seperti lelaki tulen. Sejak pertama mengenalmu, ada sedikit rasa kagum dalam hatiku. Meski harus kuakui, hampir semua temanku kebanyakan anak tomboy, tapi belum pernah sekalipun aku jatuh cinta pada sesama jenis, seperti yang banyak terjadi dengan mereka. Sampai detik itu aku masih normal dalam makna harfiah. Aku masih tertarik pada  laki-laki tulen dan bukan lelaki jadian semacam dirimu.

Tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Karena sebulan setelah perkenalan kita, kurasakan damai saat libur bersamamu. Satu perasaan yang hanya kurasakan saat aku bersama mantan kekasihku dulu. Sekuat tenaga kucoba melawan perasaan yang semakin lama menarikku untuk selalu melakukan komunikasi intens denganmu. Namun, aku tak kuasa. Kini, hari libur selalu aku lewatkan bersamamu. Hingga saat itu tiba. Kita sedang berdua di tepi pantai Stanley, kau ungkapkan rasamu.
“Kie, aku menyayangimu lebih dari seorang sahabat. Aku ingin melewati setiap hariku dengan mu,” ucapmu bersungguh-sungguh.
Aku terkesiap dan merasa rikuh.
“Tapi Regha, aku belum yakin dengan perasaaanku padamu,” jawabku berterus terang.
“Aku tahu. Kau tak perlu menjawabnya sekarang.” Katamu lagi.
Lalu kau terdiam. Kulayangkan pandangan jauh ke tengah samudera. Hatiku bimbang.
“Haruskah aku menerimamu dan mengingkari kodratku sebagai seorang wanita yang harus menjadi pendamping pria?”
Usapan hangat dan lembut membuyarkan lamunanku, tatkala kusadari jemari Regha membelai punggung tanganku.
“Aku janji akan selalu ada saat kau membutuhkanku. Aku takkan pernah menyakitimu,” bisiknya mesra di telingaku.
“Beri aku waktu. Kau pasti mengerti ini tak mudah bagiku,” ucapku penuh keraguan.
Regha tidak menjawab. Hanya genggaman tangannya kurasakan semakin erat menggenggam jemariku. Desiran halus dan hangat perlahan menjalari kisi-kisi hati, yang hampir tiga tahun ini kubiarkan tertutup dan membeku. Temaram senja menemani kebersamaan kami, sebelum akhirnya  beranjak pergi ditelan gelap yang mulai merambat.

Selepas kejadian di pantai itu, kami menjadi sepasang kekasih. Panggilan kesayangan kami pun berubah. Bukan lagi Kie dan Gha, melainkan papa dan mama. Kami bagai remaja yang dimabuk cinta. Dunia seakan milik berdua. Tak lagi kupedulikan tatapan sinis teman-teman sesama pekerja migran, yang melihat kami mengumbar kemesraan di tempat umum. Dandananku berubah total. Aku yang tidak pernah mewarnai rambut, sekarang demi menyenangkan hati Regha, sengaja  memotong dan mewarnai rambut seperti para artis Hong Kong. Semua kulakukan untuk menyenangkan hati Regha.

Jatah bulanan untuk keluarga di kampung semakin berkurang. Karena hampir semua gaji, aku hambur-hamburkan untuk membeli baju, tas, dan sepatu. Parahnya, kini aku mulai keranjingan untuk selalu ke diskotik. Dengan Regha aku mulai mengenal dunianya. Tak ada sedih di sana. Hanya tawa dan hura-hura. Seperti minggu ini, kami nongkrong di sebuah diskotik di distrik Wan Chai. Di sinilah aku mengenal barang-barang haram yang perlahan mulai menggerogoti kekebalan tubuhku.
Cinta memang buta, bahkan terkadang gila. Tapi aku selalu menikmati saat bersama Regha. Bagiku, ia adalah pusat gravitasi gerak dan segala aktivitasku. Namun, layaknya sebuah kapal, ombak pun seringkali datang menghantam bahtera kami. Pertengkaran-pertengkaran kecil kerap kali mewarnai hubungan yang memang seharusnya tidak terjalin. Tetapi, kedewasaan Regha dan sifatku yang selalu mengalah, menjadi jembatan tanpa putus untuk melanjutkan hubungan ini. Hingga di satu Minggu pertengahan Juli, satu kejadian merubah arah hidupku.
***
“Kie, ini aku Okta. Kamu cepat ke sini. Regha...,” kata-kata Okta terputus.
“Regha kenapa?” Tanyaku gugup.
“Ia pingsan.” Dan telpon terputus.
Aku yang saat itu sedang mengantri untuk pengambilan paspor, tanpa pikir panjang dan menghiraukan petugas konsulat yang memanggil namaku, berlari menuruni tangga gedung. Tak kupedulikan umpatan mbak-mbak yang tanpa sengaja tertabrak olehku. Hanya Regha dalam pikiranku.

Kulambaikan tangan untuk menghentikan taksi yang lewat di depan gedung konsulat. Sebuah taksi berhenti. Dengan tergesa aku memasukinya. Lalu kutunjukan alamat yang tertera pada kartu undangan ulang tahun Okta. Tiba di tempat pesta ulang tahun Okta, segera kuangsurkan uang 50 dolar ke sopir taksi seraya membuka pintu. Setengah berlari aku menghambur masuk gedung. Dadaku sesak tak kuasa menahan air mata. Aku takut terjadi sesuatu pada Regha. Aku takut kehilangannya. Segera kutepis pikiran-pikiran itu. Kuyakinkan hati, bahwa Regha akan baik-baik saja.
Namun, apa yang  kulihat saat masuk ke tempat pesta Okta, telah meluluh lantakkan harapanku. Di depanku, Regha terkapar bersimbah darah di pangkuan Okta. Aku menjerit histeris dan menghambur ke arahnya.
“Pa, bangun, ini mama!” kata-kataku berhamburan disela isak tangis.
“Tenang Kie. Ambulan sedang menuju ke sini.” Okta mencoba menenangkanku.
“Apa sebenarnya yang terjadi, Ta?”
“Tadi setelah makan kue ultah, ia mengeluh pusing dan ingin muntah. Lalu tiba-tiba ia pingsan.” Okta menjelaskan.
“Tak berapa lama kemudian ia siuman dan beberapa kali muntah darah,” imbuhnya.
Selang beberapa saat terdengar suara sirine mendekat. Dalam waktu singkat, tiga petugas paramedis masuk ke ruangan dan segera bertindak untuk menolong Regha. Tubuh Regha direbahkan di atas tandu lalu dibawa masuk ke ambulan.
“We need 2 people to come with us!” salah satu petugas berkata kepada kami.
“We'll  come with you,” aku menjawab seraya menoleh ke arah Okta. Ia pun mengangguk.

Di dalam mobil bala penyelamat, beberapa kali Regha siuman. Ia kembali memuntahkan darah segar. Aku hanya terisak sambil menggenggam erat tangannya. Setiba di rumah sakit, mereka membawa Regha ke ruang gawat darurat. Kami dilarang masuk. Okta membimbingku menuju bangku di ruang tunggu. Dengan harap-harap cemas, kami menunggu hasil pemeriksaan dokter. Dua  puluh menit berlalu, seorang dokter keluar ruangan dan menghampiri kami. Ia mengabarkan, nyawa Regha tak dapat diselamatkan. Hatiku terasa kebas mendengarnya. Tubuhku luruh terkulai di lantai. Okta segera membopongku masuk ke ruangan tempat Regha menghembuskan nafas terakhirnya. Aku menjerit histeris seraya memeluk jasad Regha yang kini terbujur kaku. Okta berdiri mematung di sampingku. Terdengar samar-samar isak tangisnya.
“Kie, kamu harus tabah. Ikhlaskan Regha. Mungkin ini jalan yang terbaik baginya.” Suara Okta lirih di sela isak tangisku.
Aku tetap meratap. Air mataku tumpah tak  terbendung. Kurasakan dunia seolah runtuh. Apa arti hidupku tanpa Regha? Ia segalanya bagiku. Aku tak sanggup hidup tanpanya.
“Kie, kita pulang. Biarkan mereka yang mengurus jenazah Regha,” kembali Okta berbicara.
Di saat yang sama, kulihat beberapa petugas rumah sakit dan polisi masuk ke ruangan. Kami meninggalkan rumah sakit, setelah sebelumnya dimintai keterangan tentang identitas Regha dan apa yang telah terjadi. Setelah keterangan kami dianggap cukup, polisi membolehkan kami pulang serta mengembalikan semua barang-barang milik Regha, termasuk baju yang masih berlumuran darah.

Tiba di rumah majikan, mataku masih merah dan sembab. Kucoba menghapus sisa air mata yang terus meleleh dengan tisu. Kukeluarkan kunci rumah. Perlahan kubuka pintu. Tak ada orang didalam. Untung mereka tidak di rumah, gumamku pada diri sendiri. Sesaat setelah masuk rumah, aku bergegas menuju kamar mandi. Setelahnya, aku kembali masuk kamar. Aku berniat merebahkan diri, ketika pandanganku tertuju ke arah tas plastik warna merah yang teronggok di bawah meja. Hatiku terkesiap. Air mataku kembali menetes. Perlahan kuambil celana jeans dan kemeja putih yang kini berwarna merah terkena muntahan Regha tadi siang. Aku berniat mencucinya, saat tanpa sengaja tanganku menyentuh sesuatu di saku celana belakang milik Regha. Sebuah amplop berwarna biru muda, warna favoritku. Segera kuambil dan kubuka. Ada selembar kertas putih terlipat rapi. Sebuah surat. Dengan perasaan tak menentu, aku membukanya.

Sudut Rindu, 14 juli 2011
Teruntuk belahan jiwaku di wisma kedamaian,
Kie, entah kenapa, beberapa hari ini perasaanku tak enak sama sekali. Berulang kali aku bermimpi didatangi oleh almarhum bapak. Beliau seperti marah dan ingin mengajakku pulang dengannya. Sengaja aku tak memberitahumu, karena tak ingin membuatmu khawatir.
Kie, ada satu hal yang ingin kukatakan padamu tentang jati diriku. Aku terlahir dengan nama Sulastri. Statusku janda dengan seorang anak laki-laki berusia 9 tahun. Sengaja  aku mengubah jati diriku dan sepenuhnya berlagak menjadi seorang pria, karena aku ingin melupakan sakit hati pada mantan suami yang minggat dengan tetanggaku. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa hidup tanpa laki-laki. Bertahun-tahun aku terperosok ke dalam dunia ini.

Sudah beberapa kali aku berganti pasangan sejenis. Namun, tak pernah bertahan lama. Karena hampir semua mantanku, hanya mengambil keuntungan dariku. Hingga akhirnya aku bertemu denganmu. Saat itu, entahlah, ada satu perasaan yang membuatku yakin bahwa kau adalah belahan jiwaku. Dan ternyata itu benar. Karena denganmu, kurasakan kebahagiaan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Tetapi, beberapa hari terakhir, hatiku bimbang akan masa depan hubungan ini. Apalagi setelah berulang kali aku bermimpi didatangi almarhum bapak. Perasaan bersalah itu semakin dalam. Bayang anakku selalu hadir seolah memintaku untuk pulang. Dan malam ini, kubulatkan tekad untuk memutuskan hubungan kita. Aku harap, kau sudi memaafkan semua kesalahanku. Aku benar-benar rindu menjadi sosok Sulastri.

Kembalilah menjadi Kienan yang dulu, sebelum kau mengenalku. Ingat Kie, tak ada masa depan bagi cinta sesama wanita seperti kita. Masa depanmu masih terbentang panjang. Lupakan Regha. Aku ingin kau mengingatku sebagai mbak Lastri. Semoga Tuhan masih memberi kita kesempatan untuk pulang dan mengampuni kita, aamiin.
Salam sayang selalu...
Sulastri

Air mataku kembali menetes. Ada perasaan kehilangan yang sangat menyusup dalam hatiku. Kulipat kembali surat Regha. Hampa, kosong, tanpa harapan itulah aku kini. Kata-kata Regha membayang dalam benakku. “Kembalilah menjadi Kienan yang dulu, sebelum kau mengenalku.” Aku gamang dengan hatiku. Tapi satu yang pasti, malam ini aku hanya ingin menangis.
***
Dua minggu berlalu. Jenazah Regha telah dipulangkan ke tanah air. Aku masih dengan duniaku. Dugem dan selalu teler. Aku ingin melupakan semuanya. Namun, semakin jauh masuk ke dunia itu, bukan ketenangan yang kudapat. Malah sebaliknya, aku bagaikan kapal tanpa kemudi yang berlayar diterpa ombak. Oleng dan hampir karam. Hari itu Minggu. Seperti biasa aku libur dan jadwalku tetap sama. Nongkrong bersama teman-teman lalu dugem di Wan Chai. Di sana kutenggak minuman keras bersama beberapa butir pil setan. Pikiranku melayang. Aku sejenak lupa dengan kesedihan yang melanda.

Pukul tiga, aku pamit keluar pada Okta dan lainnya. Okta melarang aku pergi sendirian. Ia memintaku untuk menunggu setengah jam lagi. Tapi aku menolak dan segera ke luar dari tempat itu. Langkahku terseok-seok. Kepalaku pening dan ingin muntah. Tapi aku berusaha tetap berjalan. Ketika tiba di depan jalan menuju masjid Amar di Wan Chai, kakiku secara reflek berbelok arah seperti tertarik medan magnet yang sangat kuat. Aku terus melangkah.
Dan saat tiba di depan masjid, sayup terdengar suara adzan Ashar yang membuatku disergap perasaan sepi nan indah. Sebuah rasa yang menyelusup ke dalam kalbu, membuatku terpaku dan melelehkan air mata. Panggilan sholat itu menghembuskan rasa hampa, seolah menyuruhku merenung. Aku cemas. Serasa akan mati esok pagi. Aku terpaku. Dan, ketika muadzin mendengungkan lafadz Hayya la shalaaah...
Aku berputar bagai kincir angin. Perutku naik memuntahkan seluruh makanan dan minuman haram dari lipatan-lipatan ususku. Aku terjerembab, limbung tak berdaya. Seakan tulang dan persendianku hancur dihantam palu godam. Air mataku berlinang tak terbendung. Aku merangkak-rangkak memohon ampun. Lalu gelap menyelimuti. Kucoba bergerak, namun tak mampu. Aku pasrah apabila ini adalah akhir hidupku. Tapi jauh di lubuk hati, aku memohon pada Tuhan, kiranya memberiku kesempatan untuk bertobat. Beberapa detik berlalu. Kurasakan angin sepoi membelai wajahku. Kucoba membuka kedua kelopak mataku. Semua tampak putih.

Susana Nisa
Cerpen ini termuat di Apakabar Plus
Februari 2016

0 comments:

Posting Komentar

Popular Posts

Blogroll

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

Translate

Cari Blog ini

Search